Jumat 25 May 2018 14:15 WIB

Korut Masih 'Buka Pintu' untuk AS

Pengumuman sepihak AS atas pembatalan KTT membuat Korut berpikir ulang

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Menteri Luar Negeri Korut, Kim Kye-gwan
Foto: Reuters
Wakil Menteri Luar Negeri Korut, Kim Kye-gwan

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Pemerintah Korea Utara (Korut) masih membuka pintu untuk berunding dengan Amerika Serikat (AS). Hal ini dinyatakan setelah Presiden AS Donald Trump membatalkan perhelatan KTT Korut-AS yang rencananya digelar di Singapura pada 12 Juni mendatang.

"Kami ingin memberitahukan kepada pihak AS sekali lagi bahwa kami memiliki niat untuk duduk dengan pihak AS guna menyelesaikan masalah terlepas dari cara kapan saja," kata Wakil Menteri Luar Negeri Korut, Kim Kye-gwan dikutip laman Yonhap pada Jumat (25/5).

Kim Kye-gwan mengatakan, penyelenggaraan KTT Korut-AS yang akan dihadiri Kim Jong-un dan Trump sangat dibutuhkan untuk memperbaiki hubungan kedua negara yang bermusuhan. Ia mengungkapkan Kim Jong-un telah membuat upaya habis-habisan untuk mempersiapkan KTT dengan AS.

"Pengumuman sepihak AS atas pembatalan KTT membuat kita berpikir ulang jika kita benar-benar telah melakukan upaya untuk itu dan telah memilih jalan baru," ujar Kim Kye-gwan.

Ia kembali menekankan bahwa Korut akan tetap terbuka untuk berunding dengan AS. "Kami tetap tidak berubah dalam tujuan kami dan akan melakukan segala yang kami bisa untuk perdamaian dan stabilitas Semenanjung Korea dan umat manusia," kata Kim Kye-gwan.

Trump telah mengumumkan tidak akan menghadiri KTT Korut-AS yang rencananya digelar di Singapura pada 12 Juni mendatang. Hal ini disampaikan dalam sebuah surat yang dikirim Trump kepada Kim Jong-un pada Kamis (24/5).

Trump beralasan masih ada kemarahan dan rasa permusuhan sengit yang ditunjukan Pyongyang. "Dunia telah kehilangan kesempatan yang luar biasa untuk memiliki perdamaian abadi dan kemakmuran serta kekayaan. Kesempatan yang luput ini menjadi momen menyedihkan dalam sejarah," ujar Trump.

Ketika bertemu dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in di Gedung Putih pada Selasa (22/5), Trump memang telah mengungkapkan keraguannya tentang penyelenggaraan KTT Korut-AS. Hal ini terjadi setelah Korut mengancam akan menarik diri dari KTT tersebut.

Korut gusar karena AS dinilai terlalu berhasrat melucuti senjata nuklirnya. Hal ini pun diperparah ketika Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton dan Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan proses denuklrisasi Korut dapat mengikuti gaya Libya era Muamar Qaddafi.

"Mengingat komentar dari politisi tingkat tinggi AS yang belum terbangun dari realitas yang keras ini dan membandingkan Korut dengan Libya yang menemui nasib tragis, saya jadi berpikir bahwa mereka tahu terlalu sedikit tentang kita,"kata Wakil Menteri Luar Negeri Korut Choe Son Hui dilaporkan kantor berita Korut, Korean Central News Agency (KCNA).

Model denuklirisasi Libya mengacu pada negosiasi pada 2004. Kala itu AS berhasil melucuti komponen nuklir Libya yang masih dipimpin Muammar Gaddafi.

Namun setelah perlucutan tersebut, Gaddafi, yang telah memerintah selama 42 tahun, digulingkan dan tewas pada 2011. Peristiwa bersejarah ini yang menjadi perhatian dan kekhawatiran Korut bila menyerahkan senjata nuklirnya kepada AS.

Choe Son Hui mengatakan negaranya juga siap bila ternyata harus menghadapi AS dalam konfrontasi nuklir. "Apakah AS akan menemui kami di ruang pertemuan atau menemui kami di konfrontasi nuklir, sepenuhnya bergantung pada keputusan dan perilaku AS. Untuk meminjam kata-kata mereka, kami juga dapat membuat AS merasakan tragedi yang mengerikan yang belum pernah dialami atau bahkan dibayangkan hingga saat ini," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement