Ahad 03 Jun 2018 02:15 WIB

Artidjo Alkostar Nilai Kurang Etis Jika Eks Koruptor Nyaleg

Artidjo Alkostar mendukung aturan yang melarang mantan napi korupsi untuk jadi caleg.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Artidjo Alkostar mendukung jika ada aturan yang melarang mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif (caleg). Hakim Agung yang mulai pensiun akhir Mei lalu menilai kurang etis jika ada mantan narapidana yang terbukti pernah melakukan korupsi, kembali maju menjadi pejabat publik.

"Saya kira etiknya kurang pas ya. itu kalau (mantan narapidana) bisa nyalon lagi. Jadi seolah-seolah di Republik ini enggak ada calon yang bersih," ujar Artidjo di sela acara "Ngobrol Bareng Bang Artidjo" yang digelar AIL Amir & Associates Law Firm di kawasan Darmawangsa, Jakarta Selatan, Sabtu (2/6).

Artidjo menilai seharusnya masyarakat diberi jaminan bahwa orang yang akan menduduki jabatan publik di Republik ini adalah orang bersih dan tidak pernah cacat. Sementara, mantan narapidana korupsi diketahui pernah menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingannya sendiri.

"Kalau sudah punya cacat itu menjadi beban untuk masyarakat," kata Artidjo.

Artidjo yang terkenal ditakuti oleh para koruptor karena putusannya itu mengatakan, hal itu juga yang membuat ia kerap menjatuhkan pencabutan hak politik bagi para terdakwa koruptor. Menurutnya, pencabutan hak politik merupakan konsekuensi yuridis dari penyalahgunaan jabatan politik.

"Konsekuensi yuridis dari orang yang punya posisi politik, kalau nggak punya posisi politik ya nggak akan dicabut. kalau dicabut ya berarti korupsi karena punya jabatan politik," kata mantan advokat tersebut.

Baca juga: KPU: Larangan Eks Koruptor Nyaleg Diajukan Pekan Depan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan akan mengirimkan draf Peraturan KPU (PKPU) yang memuat larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum-HAM) pekan depan. Pihak KPU optimistis Kemenkum-HAM akan segera mengesahkan peraturan tersebut.

Menurut Komisioner KPU Ilham Saputra, draf PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota itu akan dikirim ke Kemenkum-HAM pada Senin (4/6). "Karena hari ini kami baru menyelesaikan finalisasi draf tersebut, besok dan akhir pekan ini hari libur, maka Senin pekan depan baru kita kirim ke Kemenkum-HAM," ujar Ilham ketika dijumpai wartawan di Swiss Bell Hotel, Mangga Besar, Jakarta Pusat, Kamis (31/5).

Setelah diserahkan, Kemenkum-HAM akan memberikan nomor terhadap draf PKPU itu. Ilham yakin bahwa penomoran yang berarti pengesahan terhadap draf PKPU menjadi PKPU Pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ini tidak akan memakan waktu lama.

Dia pun optimistis pengesahan draf PKPU tersebut tidak akan ditunda oleh Kemenkum-HAM. Sebab, Kemenkum-HAM hanya akan memberikan nomor. "Proses pengundangan itu lebih kepada legal formal saja, bukan kepada substansi aturannya," tegas Ilham.

Dijumpai secara terpisah, Kepala Biro Teknis dan Hukum KPU Nur Syarifah mengatakan jika penelitian terhadap draf PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota resmi diselesaikan. Draf itu ditandatangani oleh Ketua KPU pada Kamis malam.

Syarifah menjelaskan, draf akan dikirimkan ke Kemenkum-HAM untuk disahkan pada Senin pekan depan. "Jika sudah di Kemenkum-HAM pada Senin, maka Selasa (5/6) nomor PKPU nya sudah ada. Jika sudah akan diserahkan kembali ke KPU dan aturan itu resmi berlaku, " tutur dia.

Syarifah juga mengungkapkan bahwa selama ini belum ada satu draf PKPU-pun yang dibatalkan pengesahannya oleh Kemenkum-HAM. Dia menegaskan jika tugas lembaga tersebut berada dalam tataran legal formal dan bukan menunda PKPU karena ada substansi aturan yang tidak disepakati.

Baca juga: Larang Eks Napi Koruptor Nyaleg, Ketua DPR: KPU Langgar UU

Sementara itu, Menkum-HAM, Yasonna Laoly, mengakui ada dilema soal pengesahan aturan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Dirinya tetap menegaskan jika KPU sebaiknya tidak menabrak undang-undang dalam membuat aturan teknis pemilu.

"Saya konsisten, menurut saya aturan ini bertentangan dengan UU Pemilu. Jadi, saya diletakkan dalam dilema. Nanti kalau kita undangkan (mengesahkan larangan mantan narapidana kasus korupsi jadi caleg), maka kami dianggap menyetujui aturan yang ada di bawah UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ," ujarnya kepada wartawan di Kantor Kemenkum-HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis.

Karena itu, dia menyarankan KPU tidak membiasakan diri menabrak ketentuan undang-undang. KPU saat ini dinilainya bertindak di luar kewenangan. Yasonna menyebut Peraturan KPU (PKPU) yang disusun oleh KPU bersifat teknis. Karena kedudukannya yang berada di bawah undang-undang, dia menilai berbahaya jika dilanjutkan.

Namun, Yasonna juga menilai ide dan semangat KPU menerapkan pemilu yang bersih dari korupsi sangat baik. "Saran saya, soal mantan narapidana korupsi, buat saja surat kepada semua parpol agar jangan calonkan mereka. Kedua, KPU bisa mengumumkan para caleg yang merupakan mantan narapidana korupsi, " tambahnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement