REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Air mata orang tua Razan al-Najjar sudah tak mampu lagi menetes saat mengingat putri mereka. "Dia berdiri dan tersenyum kepada saya dan mengatakan akan menuju ke lokasi demonstrasi," kata ayah Razan, Sabreen al-Najjar.
Dilansir di Aljazirah, Ahad (3/6), peristiwa itu adalah kenangan terakhir Sabreen bersama putrinya. Razan (21 tahun) merupakan relawan medis (first responder/pertolongan pertama) dalam aksi unjuk rasa Great March of Return. Ia akan membantu para demonstran yang ditembak Israel selama aksi demonstrasi.
"Dalam sekejap mata, dia keluar dari pintu. Saya berlari ke balkon untuk mengawasinya di luar tetapi dia sudah berjalan ke ujung jalan. Dia terbang seperti burung di depanku," kata pria berusia 43 tahun itu di kediamannya di Khuza'a, Jalur Gaza selatan.
Kediaman Sabreen dipenuhi sanak keluarga, teman-teman dan pasien wanita yang pernah dirawat putrinya. Mereka semua berduka atas kehilangan Razan.
Sabreen mengatakan putrinya berada di garis depan dalam aksi demonstrasi itu. Dia sudah dikenal oleh orang-orang yang berada di perkemahan Khan Younis. Ini adalah salah satu dari lima tenda yang didirikan di sepanjang pagar timur di Jalur Gaza.
Razan Al-Najar, paramedis Palestina yang ditembak tentara Israel di perbatasan Gaza.
"Dia tidak pernah peduli tentang apa yang dikatakan orang. Dia berkonsentrasi pada pekerjaannya di lapangan sebagai relawan tenaga medis, yang mencerminkan kekuatan dan tekadnya," kata Sabreen.
Menurut Sabreen, putrinya tidak memiliki senjata. Ia hanyalah petugas medis yang membantu orang-orang dengan keahliannya. Tenaga medis di lapangan sebelumnya mengatakan pasukan Israel telah menembaki para demonstran dengan amunisi jenis baru.
Dikenal sebagai "butterfly bullet". Tembakan ini akan menyebabkan cedera internal parah.
"Dia sengaja dan langsung dibunuh oleh peluru yang ilegal menurut hukum internasional," kata Sabreen.
Sabreen menuntut penyelidikan PBB sehingga pembunuhnya dapat diadili dan dihukum. Ia menggambarkan tindakan tentara Israel begitu brutal dan tak kenal ampun.
Sabreen kemudian terdiam. Ketika ia ingin mulai berbicara lagi, orang disekitarnya ikut berkomentar.
"Kuharap aku bisa melihatnya dalam gaun pengantin putihnya, bukan kain kafannya," kata seorang kerabat Sabreen.
Baca juga: Palang Merah Turki Kecam Kematian Perawat Palestina