REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan tidak ada keinginan pemerintah untuk menghilangkan peran KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Itu terkait dengan dimasukkannya delik tindak pidana korupsi dalam Rancangan Undang-undang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU RKUHP) yang saat ini tengah dibahas DPR-pemerintah.
"Jadi itu kan nggak begitu. Kan sudah berkali-berkali rapat dengan BNN, dengan BNPT, dengan KPK sudah berkali-kali. Ini kan suudzon saja seolah-olah kita ada rencana membubarkan KPK" ujar Yasonna saat ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6).
Menurut Yasonna, kewenangan KPK tetap berlaku meski ada ketentuan delik tindak pidana korupsi dalam RUU RKUHP dengan ketentuan lex specialis-nya yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Namun kata Yasonna, dalam perkembangannya justru ada kekhawatiran delik itu mereduksi kewenangan KPK. "Kan ada di ketentuan di lex specialis. Kan asas hukum kan berlaku. Kan ketakutannya teman-teman, wah nanti KPK dibubarkan. Ya gimana ceritanya itu? Kita ini kan belum lagi mau bunuh diri politik kan," ujar Yasonna.
Menurutnya, jika sudah ada ketentuan khusus terkait delik korupsi yakni di UU Pemberantasan Tipikor, namun kemudian juga terdapat ketentuan umum di RKUHP maka yang tetap dipakai adalah ketentuan khusus. Termasuk jika ancaman pidana di ketentuan umum lebih rendah dibandingkan di ketentuan khusus.
"Terserah KPK, pakailah lex specialis. Kok repot banget sih. Namanya lex specialis. Jika ada ketentuan yang umum kemudian ada ketentuan khusus. Yang dipakai ya khususlah," ujar Yasonna.
Karenanya, ia berencana mendudukkan KPK dalam pembahasan bersama terkait ketentuan tersebut. Hal itu untuk meluruskan kecurigaan kecurigaan pihak pihak terkait upaya penghilangan kewenangan khusus KPK dalam R-KUHP.
"Mensesneg sudah mengatakan, saya bilang sudahlah kita rapat bersama di koordinasi sama Menko (Polhukam) kita duduk aja. Nanti seolah-olah. Ini kan masa politik, tahun politik seolah-olah dibuat begitu kan pemerintahan itu sangat tidak baik," kata Yasonna.
Yasonna juga meminta pimpinan KPK turut hadir dalam pembahasan tersebut sehingga dapat secara jelas memahami isi pembahasan. Pemerintah, kata Yasonna, bukan tidak cermat dalam merumuskan delik korupsi dalam R-KUHP tetapi telah mempertimbangkan matang.
"Saya minta nanti kalau rapat dengan Menko, komisioner yang datang supaya kita bicara. Laode pernah datang bicara itu hampir delapan bulan- satu tahun yang lalu nggak usah ada kecurigaan seperti itu. Yang membahas ini adalah pakar-pakar, Ada Pak Muladi, Pak Barda, Ibu Harkristuti yang juga pernah menjadi Pansel KPK,
"Jadi saya kira nggak ada keinginan-keinginan seperti itu, kan kalau sampai keluar itu kan politisasi, kasihan pemerintahan ini begini. nggak ada niatan itu kita. Jangan diputar-putar," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyebut terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP. Pertama, tentang kewenangan kelembagaan KPK karena Undang-Undang KPK menentukan bahwa mandat KPK itu adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
"Itu tegas, jadi kalau nanti masuk di dalam KUHP Pasal 1 Angka 1 itu, Undang-Undang KPK apakah masih berlaku atau tidak? Apakah bisa KPK menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi karena itu bukan Undang-Undang Tipikor lagi tetapi undang-undang dalam KUHP," kata Syarif saat konferensi pers di Gedung KPK RI, Jakarta, Rabu.