REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri keuangan Bambang Subianto mengungkapkan soal penandatanganan surat utang Bantuan Langsung Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 144 triliun pada Desember 1998. Bambang hari ini bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
"BLBI yang menyalurkan Bank Indonesia, mereka detailnya tahu bank apa dapat berapa. Lalu BI mengajukan kepada pemerintah agar kewajiban bank kepada BI dibayar oleh pemerintah, bukan diselesaikan secara satu satu tapi secara keselurahan yaitu Rp 144 triliun," kata Bambang, Rabu (6/6).
Bambang bersaksi untuk terdakwa Syafruddin selaku Ketua BPPN periode 2002-2004. Ia didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
"Saya minta diklarifikasi angka Rp 144 triliun itu, saya minta BPKP periksa. Setelah hasil periksaan dilaporkan pada akhir November memang situasimya berat karena ada beberapa puluh triliun yang menurut BPKP tidak ada data pendukungnya. Ini secara menyeluruh. Saya jadi terjepit dalam sebuah dilema. Kalau saya tidak mengeluarkan surat utang pemerintah untuk mengganti BLBI, maka BI bangkrut dan republik Indonesia bangkrut," tambah Bambang.
Ia pun menandatangani surat tagihan untuk menalangi sementara tagihan BLBI tersebut. "Ini harus dibuat pencadangan, karena itu saya tanda tangan surat tapi dengan membuat surat pengantar yang mengatakan angka ini hanya sementara, harus diverifikasi pihak independen. Itu makanya saya selamat, kalau tidak pasti duduk di sini saya yakin," ungkap Bambang.
Bambang menjadi Menteri Keuangan selama 18 bulan hingga Oktober 1999. Ia juga Ketua BPPN pertama namun hanya satu bulan.
"BPPN tugas prinsipnya untuk membenahi perbankan. Kedua mengumpulkan aset, kemudian dirawat dan dijual kembali untuk menutup utang karena ada yang ditanggung pemerintah. Maka BPPN awalnya mengumpulkan para pemegang saham pengendali dan meminta aset mereka, kalau bank ditutup hitung jumlah kekayaan dan berapa nilai kewajiban, selisihnya harus dibayar, ditomboki pemerintah," ungkap Bambang.
Menurut Bambang, meski bank ditutup, uang nasabah di dalam tidak boleh hilang. Pemerintah menjamin uang nasabah dan memerintahkan BPPN memindahkan rekening nasabah ke bank penampung, kemudian mengumumkan uang itu berada di bank penampung.
Bambang juga mengakui bahwa BDNI pernah dievaluasi tapi ia mengaku tidak mendapatkan laporannya secara khusus. "BDNI pernah dievaluasi, kemudian dihitung ada kurang (aset). Penghitungan tidak sekaligus karena aset ada yang bentuknya perusahaan, fisik, tanah bangunan," ungkap Bambang.