REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan keamanan PBB (ATT DK PBB). Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo mempertanyakan biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk bisa menjadi ATT DK PBB.
"Kemarin saya sudah mengingatkan agar Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) jangan heboh-heboh amat. Peranan ATT DK PBB itu sangat terbatas. Di sisi lain, ada 126 negara yang pernah menjadi ATT DK PBB,” kata Dradjad, kepada Republika.co.id, Ahad (10/6).
Bahkan, menurut Dradjad, Arab Saudi pernah menolak duduk sebagai ATT DK PBB. Ceritanya, Arab Saudi terpilih pada tanggal 17 Oktober 2013. Perolehan suaranya 176. Bandingkan dengan Indonesia yang memperoleh 144.
Selain itu, kata Dradjad, Arab Saudi tidak mendapat saingan dari negara lain ketika terpilih. Hal ini sama dengan Jerman, Belgia, Afrika Selatan dan Republik Dominika yang terpilih bersama Indonesia untuk periode 2019-2020. Hanya Indonesia vs Maladewa yang harus masuk pemungutan suara.
Setelah terpilih, lanjut Dradjad, Arab Saudi langsung menyatakan menolak duduk dalam DK PBB. Alasannya, DK PBB dinilai berstandar ganda, sehingga tidak efektif dalam mengatasi konflik Israel-Palestina, pelucutan senjata nuklir di Timur Tengah dan penghentian perang saudara di Suriah.
Pada tanggal 12 November 2013, Arab Saudi melalui Dubesnya di PBB, Abdallah Y. Al-Mouallimi, secara resmi mengirim surat penolakannya. "Kursi yang ditinggalkan Arab Saudi lalu diisi oleh Yordania, yang terpilih pada tanggal 6 Desember 2013 dengan 178 suara,” papar politikus senior PAN ini.
Arab Saudi memang menjadi satu-satunya negara yang pernah menolak duduk dalam DK PBB. Namun alasan penolakan Arab Saudi tersebut adalah fakta yang diakui oleh banyak diplomat dunia.
"Ya memang begitulah DK PBB,” kata Dradjad.
Dradjad bertanya tentang alasan Indonesia ngotot menjadi ATT DK PBB untuk periode 2019-2020. Sampai-sampai harus voting melawan Maladewa, yang belum pernah sekalipun menjadi ATT DK PBB.
"Padahal unggah-ungguhnya (etikanya, red), negara yang belum pernah lah yang diberi kesempatan,” papar Dradjad. Pertanyaan lainnya, sambung Dradjad, adalah mengapa ngotot untuk periode yang dimulai 1 Januari 2019?.
Baca Juga: Politikus PAN Heran 'Hebohnya' Indonesia Jadi ATT DK PBB
"Ketiga, dan ini sangat penting, berapa anggaran APBN yang dipakai untuk memenangkan persaingan melawan Maladewa? Pos anggaran apa saja yang dipakai?” tanya Dradjad.
Sebagai perbandingan, Australia menghabiskan 25 juta dolar AS (hampir Rp 350 miliar) ketika menang tahun 2012. Swedia habis 4 juta dolar AS (hampir Rp 56 miliar) pada tahun 2016 hanya untuk biaya staf/diplomat, utusan khusus, dan perjamuan.
"Ini belum termasuk biaya lobby yang lebih mahal,” kata Dradjad.
Dradjad mengatakan rakyat berhak tahu alasan pemerintah lebih memrioritaskan kampanye ke DK PBB dibanding program lainnya. "Urgensinya apa? BPK juga perlu mengaudit, apakah biaya lobby yang digunakan itu sah,” ungkapnya.