Senin 11 Jun 2018 15:14 WIB

Pembelot Korut: KTT tak akan Ubah Kim Jong-un

Masalah Korea Utara tidak akan selesai hanya dengan satu pertemuan bersama Amerika.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Indira Rezkisari
Mobil kepolisian berderet di depan Istana Presiden Singapura usai Presiden Donald Trump bertemu PM Singapura, Senin (11/6), menjelang pertemuannya dengan pemimpin Korut Kim Jong-un.
Foto: AP
Mobil kepolisian berderet di depan Istana Presiden Singapura usai Presiden Donald Trump bertemu PM Singapura, Senin (11/6), menjelang pertemuannya dengan pemimpin Korut Kim Jong-un.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un mungkin saat ini tengah muncul sebagai seorang negarawan internasional, menjelang pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Singapura. Namun pembelot Korut, Song Byeok, yang mengaku pernah menderita di bawah kepemimpinan Kim mengatakan KTT Singapura tidak akan mengubah watak Kim.

Selama bertahun-tahun, Song yang berprofesi sebagai seniman ini memainkan peran penting sebagai mesin propaganda Korut. Pelukis yang berasal dari Provinsi Hwanghae tersebut telah dipilih khusus untuk menjadi seniman negara.

Song melukis gambar-gambar yang mencolok yang menunjukkan slogan anti-Amerika dan Jepang. Ia juga harus menggambarkan potret pekerja Korut yang bahagia di bawah dinasti Kim.

"Sebagai seniman propaganda, Anda diharapkan dapat menggambarkan Korea Utara dan para pemimpinnya sebagai yang terbaik di dunia," kata Song kepada BBC saat ditemui di apartemennya di Seoul, Korea Selatan (Korsel).

"Di Korea Utara, seni haruslah indah. Tunawisma tidak ada dan semua orang gemuk karena mereka cukup makan," tambah Song. Tentunya gambaran ini sangat jauh dari kenyataan sebenarnya.

Ia kemudian dijebloskan ke dalam penjara karena melakukan kesalahan, dan mendapatkan siksaan setiap hari. Setelah berhasil melarikan diri, Song membelot ke Korsel pada 2002.

"Berada di penjara Korea Utara sangat sulit. Anda akan mendengar burung bernyanyi dan melihat langit biru, tetapi hal itu justru membuat Anda ingin mati. Jadi Anda bisa membayangkan betapa terkejutnya saya melihat Kim Jong-un saat ini ditampilkan dalam citra yang positif," ungkapnya.

"Begitu banyak orang yang mati di tangan rezimnya, namun orang-orang mengatakan dia sekarang bersikap manusiawi. Mereka meromantisir seorang diktator dan mengagung-agungkan rezimnya. Ini semua salah," papar Song.

Baca juga: Donald Trump Andalkan Intuisi Ukur Keseriusan Kim Jong-un

Di daerah yang sepi di distrik Gangnam, Seoul, tinggal seorang pembelot Korut lainnya, Choi Seong-guk. Di kehidupan sebelumnya di Pyongyang, ia bekerja sebagai seniman yang membuat kartun-kartun propaganda atas perintah negara.

"Sebagai seseorang yang benar-benar berasal dari Korea Utara, mendengar pujian tentang Kim Jong-un membuat saya marah. Orang-orang yang mengatakannya tidak pernah benar-benar mengetahui bagaimana warga Korea Utara seperti saya dan keluarga saya telah disiksa dan dipukuli. Jadi mereka tidak tahu apa-apa. Betapa menyedihkan hidup kami," ujar Choi.

Choi mengatakan, dia diasingkan dari Pyongyang dan dikirim ke penjara setelah dinyatakan bersalah karena menjual salinan duplikat film Korsel. Dia memutuskan untuk melarikan diri dari Korut dengan keluarganya pada 2012.

Seperti banyak penduduk Korut lainnya di luar negeri, dia akan mengawasi dengan cermat pertemuan Trump-Kim di Singapura. "Apa yang akan membuat saya marah adalah melihat foto-foto Kim yang berparade dengan para pemimpin global. Ini hanya akan memperkuat citranya di Korea Utara dan akan mencuci otak banyak orang," katanya.

"Dunia tampaknya berpikir, masalah Korea dapat diselesaikan hanya dengan melakukan pertemuan dengan Kim Jong-un dan saya benar-benar terkejut dengan pemikiran ini. Dia bertindak seperti ini karena dia berada di ambang keputusasaan," tambah Choi.

Ketika ditanya apakah ia ingin kembali ke Korut yang telah aman suatu hari nanti, ia menjawab ya. "Jelas. Saya ingin mengadakan pameran seni di Pyongyang dan menunjukkan kepada sesama warga [bukti] kebebasan berekspresi. Itu adalah impian seumur hidup saya dan saya berharap itu akan terjadi selama saya masih hidup," kata dia.

Akan tetapi ia mengaku khawatir akan jalannya negosiasi sejumlah pihak dengan Kim Jong-un. "Apakah Moon Jae-in benar-benar percaya Kim akan melakukan denuklirisasi di Korea Utara? Pemerintahannya bahkan tidak mengangkat masalah hak asasi manusia di Korea Utara," tuturnya.

Meski demikian, dia tetap memiliki harapan dan mengaku tidak ingin KTT Trump-Kim hanya menjadi sebuah peristiwa sejarah. "Saya berharap pertemuan antara Trump dan Kim akan menjadi titik awal bagi negara kami untuk berubah secara mendasar," jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement