Jumat 22 Jun 2018 08:09 WIB

Mengapa Rupiah Kembali 'Loyo'?

Defisit perdagangan dan faktor eksternal menjadi sebab pelemahan rupiah.

 Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS
Foto: Republika On Line/Mardiah diah
Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Fikri Noor, Iit Septianingsih

Gonjang-ganjing nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali muncul. Rupiah yang sempat menguat usai pelantikan Gubernur Bank Indonesia (BI) terpilih Perry Warjiyo, Ramadhan lalu, belakangan mulai 'loyo' lagi.

Tekanan dolar AS terhadap nilai tukar rupiah dan mata uang negara lain diproyeksikan terus terjadi hingga akhir 2018. Di sisi lain, Indonesia akan fokus membenahi neraca perdagangan yang masih defisit.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, meskipun tekanan greenback akan membayangi nilai mata uang Garuda sepanjang tahun ini, BI akan menjaga nilai rupiah tidak kembali melemah ke level yang jauh dari nilai fundamentalnya.

Adapun sejak pembukaan perdagangan Rabu (20/6) dan Kamis (21/6), pascalibur panjang pasar karena Idul Fitri, nilai rupiah kembali depresiatif.  Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI pada Kamis petang mencatat rupiah depresiasi hingga Rp 14.090 per dolar AS atau turun 188 poin dibanding saat hari terakhir sebelum libur Idul Fitri, yakni Rp 13.902 per dolar AS.

Dody menjelaskan, penyebab pelemahan rupiah adalah perbaikan data ekonomi AS, makin sengitnya perang dagang antara AS dan Cina, isu stabilitas geopolitik, serta ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga The Federal Reserve sebanyak tiga hingga empat kali tahun ini.

"BI sudah kalkulasi kemungkinan dolar AS masih akan menguat terhadap mata uang negara lain hingga akhir 2018," ujar Dody, Kamis (21/6).

Dia mengatakan, BI akan menjaga agar kepercayaan investor terhadap aset rupiah tetap positif. "Seandainya rupiah melemah dapat terjadi secara wajar, tidak overshooting jauh dari nilai fundamentalnya," ujar dia.

BI memiliki empat strategi lanjutan, yakni menerapkan fokus kebijakan jangka pendek untuk memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Kedua, BI akan menempuh kebijakan lanjutan yang bersifat antisipatif dan mendahului dibanding tekanan yang akan timbul.

"Kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan pelonggaran kebijakan pinjaman untuk mendorong sektor perumahan (LTV)," ujar dia.

Selanjutnya, BI juga akan melanjutkan kebijakan intervensi ganda di pasar surat berharga negara (SBN) dan valas, menjaga likuiditas longgar, dan menerapakan komunikasi yang intensif, serta mempererat koordinasi BI, pemerintah, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menilai, pergerakan kurs rupiah masih datar meski BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Ia melihat, belum ada sentimen baru yang dapat membuat rupiah bergerak signifikan.

Reza tetap mewanti-wanti potensi pelemahan kembali. "Pelaku pasar tampaknya masih mengamati sentimen yang ada," kata Reza.

Perbaiki defisit neraca perdagangan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, Indonesia tidak perlu terlalu risau dengan ancaman perang dagang antara negara-negara besar. Menurut Darmin, Indonesia justru perlu fokus untuk membenahi defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang 2018.

Ia mengakui, dua sampai tiga bulan lalu kurs rupiah terganggu dan neraca perdagangan Indonesia masih negatif. Perang dagang bisa berimbas positif dan negatif. Indonesia akan lebih banyak menyiapkan urusannya sendiri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang Indonesia pada Januari hingga April 2018 mengalami defisit sebesar 1,31 miliar dolar AS. Darmin mengaku, fokus pemerintah terkait perdagangan adalah mengatasi defisit.

Ia menjelaskan, impor dalam beberapa waktu terakhir meningkat tajam karena dipengaruhi oleh persiapan Lebaran. Selain itu, ekspor juga mengalami perlambatan, terutama karena kebijakan negara tertentu, seperti India yang mengenakan bea masuk tinggi kepada produk minyak sawit.

Saat Perdana Menteri India Narendra Modi ke Indonesia beberapa pekan lalu, lanjut Darmin, Presiden Joko Widodo sudah meminta agar produk Indonesia diperhatikan dan kedua negara punya kerja sama perdagangan. "Masa kita dikenakan bea masuk yang tinggi?" kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (21/6).

Dalam dalam wawancara Bloomberg dari London pada Rabu (20/6), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, negara-negara berkembang akan menghadapi normalitas baru dengan perkembangan dinamika ekonomi global yang sudah terasa sejak kuartal I 2018. Negara-negara berkembang berusaha menyesuaikan diri dengan kebijakan moneter AS yang lebih hawkish.

Indonesia sendiri ingin tumbuh lebih tinggi, tapi tidak dengan kebijakan yang longgar, semisal, memperdalam defisit anggara. "Namun, dengan meningkatkan kebijakan investasi dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik untuk menarik lebih banyak investasi tetap," tutur Sri Mulyani.

Indonesia tak mau performa ekonominya sekadar performa kosmetik, tapi performa yang berbasis kekuatan struktural. Secara makro, semua negara berkembang terpapar perubahan dinamika global, sehingga itu akan mengubah pula pengelolaan ekonomi masing-masing menjadi lebih stabil.

Indonesia sendiri akan menekan defisit anggaran, sehingga tidak mudah terpapar. Pun kebijakan moneter yang pre-emptive, front loading, dan a head the curve, sehingga lebih stabil dan meyakinkan.  (Pengolah: fuji pratiwi).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement