REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada banyak produk makanan atau minuman yang datang dari mancanegara dan beredar di pasaran Tanah Air. Peredarannya banyak di temukan di supermarket, pasar tradisional, atau toko-toko terdekat.
Keberadaan olahan dari luar negeri itu pun tak jarang menimbulkan keresahan, terutama soal status kehalalannya. Misalnya, daging, keju, ataupun produk-produk ma kanan dan minuman ringan. Bagaimana seorang ibu rumah tangga dan Muslimah secara umum mesti bersikap?
Prof Abd al-Karim Az Zaidan dalam Kitabnya yang berjudul Al Mufashal fi Ahkam al Mar’atmenjawab kegamangan itu. Dalam karyanya yang terdiri dari 11 jilid itu, ia merincikan bagaimana menyikapi produk-produk, terutama makanan yang berasal dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud, ialah negara-negara yang berpenduduk mayoritas non-Muslim.
Terkait daging impor, ia menga takan, bila daging tersebut ialah da ging ikan maka secara umum aman membelinya. “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS al-Maidah [5] : 96).
Daging ikan itu halal dan status ke ha lalannya tidak dipengaruhi oleh ne layannya yang Muslim atau bukan. Sedangkan, bila daging yang diimpor berasal dari hewan seperti sapi, kambing, atau unta, maka ia berpendapat hukumnya halal dikonsumsi.
Dengan catatan, bahwa daging tersebut didatangkan dari negara-negara ahli kitab, seperti Nasrani dan Yahudi. Ketentuan ini sebagaimana disebut dalam ayat, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelih an) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS al- Maidah [5] : 5).
Sedangkan, bila daging itu berasal dari negara-negara ateis, seperti negara-negara komunis, ia berpendapat lebih baik tidak mem beli produk-produk yang datang dari negara-negara tersebut. Hal ini karena hukum mengonsumsi sembelihan mereka tidak sah. Demikian juga dengan hukum mengonsumsi keju hasil produksi negara-negara luar non-Muslim. Jika keju tersebut adalah disarikan dari hewan yang halal dan datang dari negara-negara Nasrani atau Yahudi maka boleh mengonsumsinya.
Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, mengatakan, dalam sistem jaminan halal, negara-negara pengekspor daging ke Indonesia selalu menyertakan logo ataupun label halal dari lembaga sertifikasi tempat asal daging tersebut. “Itu saja indikatornya, bila tidak ada maka sulit membedakan,” katanya. Ia juga menambahkan agar konsumen selektif memilih produk luar dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya sertifikat halal MUI dalam kemasan produk itu.