REPUBLIKA.CO.ID, TEXAS -- Di sebuah bangunan bata tak bertanda yang terletak beberapa blok dari perbatasan Meksiko, para orang tua imigran menggenggam folder akta kelahiran dan dokumen suaka. Mereka duduk di kursi lipat untuk menunggu antrean menggunakan telepon.
Para orang tua ini bergegas ke telepon ketika nama mereka dipanggil. Mereka diberitahu bahwa seorang kerabat atau pekerja pemerintah sedang menelepon. Kemungkinan petugas itu membawa berita tentang anak-anak mereka.
Beberapa pekan terakhir, ratusan orang tua berpisah dengan anak-anaknya di perbatasan Meksiko karena kebijakan pemerintahan Trump. Mereka telah berjuang melawan salah satu sistem imigrasi paling rumit di dunia untuk menemukan anak-anak mereka dan mendapatkan mereka kembali.
Bagi banyak orang, itu adalah hal yang berat dan memilukan. Sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Orang tua lainnya mengaku tidak tahu tentang keberadaan anak-anak mereka.
Beberapa orang tua mengatakan panggilan ke hotline informasi pemerintah 1-800 tidak dijawab. Sekarang, setidaknya, para orang tua ini memiliki ketetapan hukum yang berpihak kepada mereka.
Hakim federal di California memerintahkan pemerintah Trump untuk menyatukan lebih dari 2.000 anak dengan orang tua mereka dalam 30 hari. Untuk anak berusia lima tahun penyatuan harus dilakukan dalam 14 hari.
Tantangan besar mengintai keputusan ini. Misalnya terkait birokrasi, koordinasi, dan batas tenggat waktu. Departemen Kehakiman, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan, tidak memberikan perincian secara langsung dalam menanggapi keputusan tersebut. Departemen ini bertanggung jawab atas nasib anak-anak tersebut.
Direktur Eksekutif American Civil Liberties Union Anthony Romero mengaku yakin tenggat waktu yang ditetapkan realistis. "Ini masalah kemauan politik, bukan sumber daya," katanya.
Saat ini, anak-anak telah dikirim ke tempat penampungan di seluruh Amerika Serikat,(AS) ribuan mil dari perbatasan. Ratusan orang tua juga telah dideportasi dari AS tanpa anak-anak mereka.
Seorang wanita di Guatemala yang dideportasi tanpa putranya yang berusia delapan tahun harus meminta bantuan pengacara AS untuk mendapatkan putranya kembali. Elsa Johana Ortiz mendukung keputusan hakim federal. Namun, selama dia tidak bersama putranya dia tidak dapat merasa tenang.
Di El Paso, puluhan orang tua yang dibebaskan pada Ahad dari pusat penahanan AS mulai mencari anak-anak mereka. Mereka menggunakan telepon di tempat penampungan yang dikelola Annunciation House.
Beberapa dari mereka di Annunciation House bergegas mengejar bus yang menuju New York, Dallas, dan West Coast. Mereka ingin tinggal bersama anggota keluarga dengan harapan dapat membangun tempat tinggal dan memudahkan untuk mendapatkan kembali anak-anak mereka.
Mereka yang pergi ke kota lain hanya membawa tas belanja yang diisi dengan sandwich dan dokumen. Digna Perez dari El Salvador mengatakan, ia terpisah dari putranya yang berusia sembilan tahun dan anak perempuan berusia enam tahun di perbatasan pada 29 Mei.
Dia berbicara dengan mereka pada Senin melalui telepon. Digna mengaku khawatir akan keadaan anaknya. Menurut dia, anaknya terdengar lesu dan tidak seperti biasanya. "Sepertinya saya memaksakan kata-kata keluar darinya. Dia tidak seperti itu sebelumnya," katanya.
Dia berencana melakukan perjalanan ke Houston untuk tinggal bersama sanak keluarga dalam upaya untuk merebut kembali anak-anaknya. Nantinya ia akan menunjukkan rumah yang cocok untuk mereka.
Pencari suaka lainnya di Annunciation House, Wilson Romero, berharap dapat dipersatukan kembali dengan putrinya, Nataly, yang berusia lima tahun di California--di rumah ibunya, seorang imigran baru-baru ini.
Pria berusia 26 tahun ini dipisahkan dari putrinya oleh otoritas AS di El Paso pada Mei. Di Honduras, ia bekerja di sebuah pabrik tekstil yang membuat logo untuk merek AS di pinggiran San Pedro Sula, salah satu kota paling keras di Amerika Latin.
Dia mengaku meninggalkan tanah airnya agar putrinya dapat memiliki kesempatan untuk berkarier suatu hari nanti. Sekarang dia mengaku begitu ingin melihat putrinya lagi.
“Saya berdoa kepada Tuhan semoga pertemuan ini segera terjadi,” kata Romero, yang memiliki tato nama putrinya di lengan kanannya.
Bagi banyak imigran, birokrasi menjadi hal yang makin menambah rasa frustrasi saat mereka mencoba menemukan anak-anak mereka kembali. Beberapa dari mereka harus mengirim akta kelahiran dan dokumen identitas dari Honduras.
Seorang pengacara dari Jeff Goldman Imigrasi di Boston, yang mewakili salah seorang orang tua, Jesse Bless, mengatakan bahwa beberapa orang tua yang tinggal dengan teman atau kerabat di AS diminta oleh pemerintah untuk memberikan sidik jari dari kerabat mereka dengan tagihan listrik dan informasi sewa. Ini adalah syarat agar mereka dapat membawa anak-anak mereka kembali. Namun, imigran yang baru tiba tidak memiliki ini.
Lidia Karine Souza (27) menyerahkan diri dan putranya, Diogo, ke otoritas AS di perbatasan Texas dan meminta suaka. Ia beralasan hidupnya dalam bahaya di negara asalnya, Brasil.
Para pejabat AS menahannya di Texas dan membawa putranya pada 30 Mei tanpa memberitahu Souza. Ketika dibebaskan pada 9 Juni, Souza disuruh ke tempat penampungan Chicago oleh salah seorang ibu yang juga sedang mencari anaknya.
Di sana dia menemukan Diogo. Mereka diizinkan untuk melakukan panggilan telepon selama 20 menit setiap pekannya. Souza berharap ia dan putranya dapat bersatu kembali.
Souza, yang pindah dengan kerabatnya di Massachusetts, mengatakan, dia menyerahkan 36 halaman dokumen yang diminta pejabat AS untuk mendapatkan kembali anaknya. Namun, putranya tetap dalam tahanan; dia banyak dikarantina karena dia menderita cacar air.
Sekarang, Souza telah diberitahu bahwa kerabatnya perlu diambil sidik jarinya. Setelah itu, anaknya dapat dibebaskan pada akhir Juli. Souza mengajukan gugatan terhadap pemerintah Trump. Sidang darurat dijadwalkan pada Kamis.
Souza mengunjungi Diogo untuk pertama kalinya pada Selasa. Mereka berpelukan. Souza mencium putranya berkali-kali. Keduanya tak kuasa menahan air mata dalam pertemuan itu. “Aku sangat merindukanmu,” kata Souza dalam bahasa Portugis.