REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Upaya Benjamin Ladraa (25 tahun) untuk memasuki wilayah Palestina yang diduduki, gagal setelah pihak berwenang Israel mengusirnya dari perbatasan. Aktivis asal Swedia ini telah menghabiskan waktu lebih dari 11 bulan berjalan kaki menuju wilayah itu.
Ladraa memulai perjalanannya pada 5 Agustus 2017 untuk mengampanyekan kesadaran akan pendudukan Israel di wilayah Palestina selama 70 tahun. Namun, pada Jumat (6/7) pagi, pihak berwenang Israel menolaknya untuk melewati persimpangan Allenby yang menghubungkan Yordania dengan wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Ladraa hanya berjarak ratusan meter dari tujuan utamanya setelah ia berjalan kaki lebih dari 4.800 km dari Kota Gothenburg di Swedia. Ia mengatakan, para petugas Israel menginterogasi dia selama enam jam dan menyatakan dia tidak bisa diizinkan masuk karena telah berbohong.
"Saya menghabiskan 11 bulan melakukan perjalanan ini untuk meningkatkan kesadaran akan pendudukan, dan meskipun saya diinterogasi dan ditolak masuk, saya akan melakukan lagi semuanya," kata Ladraa kepada Aljazirah.
"Mereka memberi dua alasan untuk menolak saya masuk. Pertama, mereka menuduh saya berbohong, dan kedua adalah mereka menuduh saya datang untuk mengadakan aksi protes di desa Nabi Saleh (dekat Ramallah), sesuatu yang sama sekali tidak benar," ujar Ladraa.
Dengan berjalan selama delapan hingga 10 jam sehari, Ladraa melintasi total 13 negara. Ia menggunakan rute yang sama dengan yang digunakan oleh pengungsi dan imigran.
Ladraa juga terpaksa tidur di bangunan kosong dan menghadapi cuaca musim dingin yang ekstrem. Kisah perjalanannya ke Palestina menarik perhatian 18 ribu pengikutnya di Instagram dan lebih 20 ribu pengikutnya di Facebook.
"Saya telah berhasil menarik perhatian ribuan orang melalui kampanye ini dan semoga ini dapat meningkatkan kesadaran lebih lanjut tentang penderitaan rakyat Palestina," ungkapnya.
Selama beberapa tahun, Israel telah berusaha memblokir aktivis yang mendukung gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Gerakan ini mengusung kampanye nonkekerasan yang bertujuan untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional. Tahun lalu, pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengamendemen undang-undang yang memungkinkan Pemerintah Israel untuk menolak visa masuk bagi aktivis yang mendukung BDS atau menentang permukiman ilegal.