REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua terpidana korupsi, Jero Wacik dan Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis perkara korupsinya masing-masing. Keduanya menambah daftar narapidana korupsi yang mengajukan PK setelah Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun.
"Iya (ajukan PK) Jero Wacik dan satu lagi Andi Zulkarnain alias Choel," kata Humas PN Tipikor Jakarta, Sunarso saat dikonfirmasi, Kamis (12/7).
Jero adalah menteri ESDM yang tersandung kasus penyalahgunaan dana operasional menteri (DOM) dan menerima gratifikasi. Pada 2016, majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang terdiri dari Artidjo, M.S. Lumme, dan Krisna Harahap menggandakan hukuman penjara untuk Jero dari empat tahun menjadi delapan tahun penjara. Itu setelah MA menerima kasasi yang diajukan penuntut umum.
Adapun, Choel Mallarangeng telah divonis bersalah dalam perkara korupsi proyek Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta pada 6 Juli 2017 menghukum Choel dengan pidana 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Setelah Artidjo Alkotsar pensiun sebagai hakim agung pada Mei 2018, sejumlah permohonan PK mulai diajukan oleh terpidana kasus korupsi ke MA. Sejumlah pemohon PK itu di antaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, hingga mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Terpidana Korupsi Ajukan PK
Suryadharma Ali mengajukan PK terhadap vonis 10 tahun penjara yang dikenakan kepadanya. SDA adalah terpidana korupsi pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013.
Baca juga: Lelang Kiswah tak Pedulikan PK Suryadharma
Menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lainnya yang mengajukan PK adalah Siti Fadilah Supari. Siti mengajukan PK atas vonis empat tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Kemenkes pada 2005. Tak mengajukan banding atas vonis di pengadilan tingkat pertama, kini Siti berharap bebas lewat upaya PK.
Baca juga: Siti Fadilah Supari Merasa Dikriminalisasi
Mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga mengajukan PK. PK diajukan atas vonis 14 tahun penjara dalam kasus korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.
Vonis Artidjo dkk terhadap Anas terbilang yang paling berat dan mengejutkan. Pada tingkat pertama, Anas divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS. Sementara itu, pada tingkat banding, Anas mendapat keringanan hukuman menjadi tujuh tahun penjara.
Namun, KPK mengajukan kasasi terhadap putusan itu sehingga MA kemudian memperberat Anas menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp 5 miliar subsider satu tahun empat bulan kurungan dan ditambah membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar subsider empat tahun kurungan dan masih ditambah hukuman pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.
Vonis Sangar Artidjo Alkostar
Anas menegaskan, pengajuan PK tidak terkait dengan pensiunnya Artidjo.
"Tidak ada hubungannya karena perkara saya itu kasasinya dipegang oleh Pak Artidjo. Kalau PK kapan pun apakah hari ini, setahun yang lalu, 2 tahun yang lalu, pasti bukan Pak Artidjo yang pegang PK karena Pak Artidjo sudah pegang kasasi, jadi tidak boleh lagi hakim yang memegang kasasi menjadi majelis hakim PK," kata Anas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (24/5).
Hakim Agung Artidjo Alkostar pun enggan mengomentari pengajuan PK yang diajukan Anas Urbaningrum. Hal itu, kata dia, terkait dengan kode etik hakim.
"Tidak perlu saya jawab karena etika daripada hakim itu sangat ketat. Tidak boleh kita mengomentari perkara yang akan berproses atau telah saya tangani. Itu kode etiknya jelas," ujar Artidjo di Media Centre Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat (25/5).