REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, mengatakan saat KPK menggeledah kediamannya di Bendungan Hilir, Jakpus, tidak ada berkas atau dokumen rahasia yang secara khusus dibawa oleh tim penyidik KPK. Sofyan juga menjelaskan, salah satu alasan mengapa penyidik KPK perlu menggeledah rumahnya karena beberapa berkas pekerjaan ada yang selalu dibawa pulang.
"Yang saya bawa ke rumah itu kopian dari berkas berkas yang ada. Saya nggak mungkin baca semua di kantor, karena di kantor pasti banyak tamu dan pertemuan. Jadi memang saya biasa bawa berkas berkas ke rumah. Tidak ada dokumen rahasia," kata Sofyan di Kantor PLN, Senin (16/7).
Sofyan menjelaskan dokumen dan berkas-berkas yang selalu ia bawa pulang ke rumah merupakan dokumen publik. Ia mengatakan, apa saja proposal, berkas dan dokumen tersebut bisa ia pertanggungjawabkan dan bisa dibuka di publik.
"Ada banyak berkas yang di kantor perlu saya tanda tangan, kalau saya baca semua di kantor, waktunya nggak akan cukup. Makanya saya bawa ke rumah," ujar Sofyan.
Tak hanya proposal proyek proyek pembangunan pembangkit saja kata Sofyan. Ia kerap membawa laporan keuangan perusahaan, laporan cash flow dan likuiditas perusahaan.
"Ada juga proposal misalnya, regional Sumatera, Kalimantan, laporan kan itu tiap bulan kasih ke saya. Laporan keuangan, cash flow, likuiditas itu dibaca di rumah," ujar Sofyan.
Pascapenggeledahan yang dilakukan oleh KPK, Sofyan mengakui bahwa KPK mengamankan beberapa berkas yang berkaitan dengan kasus yang saat ini sedang diselidiki oleh penyidik KPK. "Nah, itu yang diperiksa KPK. Sebagian, memang yang dibawa yang terkait aja," ujar Sofyan.
Dikutip dari Antara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah Sofyan Basir, Ahad (15/7), terkait penyidikan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka masing-masing anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).
Sebelumnya dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu. Yaitu uang sejumlah Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp 500 juta tersebut.
Diduga, penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.