REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, sahabat Suhaib meneceritakan, suatu ketika, Rasulullah membisikkan sesuatu yang tidak dimengerti. Rasul juga tidak menjelaskan apa yang dibisikkannya.
Kata Rasulullah, Apakah kalian memperhatikanku? kemudian, para sahabat mengiyakan. Sang Nabi bersabda, Sesungguhnya, aku teringat seorang nabi yang memiliki pasukan dari kaumnya."
Nabi biasanya memiliki pengikut yang beragam. Ada yang besar dan sebaliknya, tergantung penerimaan masyarakat. Mereka dibekali dengan perlindungan Allah, sehingga berdakwah dengan penuh semangat. Dalam dirinya muncul kekaguman bahwa tidak ada yang mampu menghadapi umatnya, tidak ada yang bisa mengalahkannya. Hatinya penuh dengan kebanggaan.
Rasa bangga tersebut kerap mengarah kepada ujub, penyakit hati yang menyebabkan seseorang mengedepankan ego dan mengabaikan kekuatan selain dirinya. Perasaan ini kerap menghampiri suatu kaum yang menang dalam peperangan atau ketika mendapatkan suatu kebahagiaan.
Allah berfirman, "Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah," (QS Ali Imran: 126). Dalam ayat lain, Sang Pencipta mengatakan, berapa banyak kelom pok yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (QS al-Baqarah: 249). Terkadang, membanggakan jumlah yang besar justru menjadi penyebab kekalahan.
Dalam surah at-Taubah, Allah mengingatkan peperangan Hunain. Ketika itu, umat Islam melawan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif pada 630 M atau 8 H di sebuah jalan antara Makkah dan Thaif. Umat menang ketika itu. Mereka mendapatkan banyak harta rampasan perang.
Ketika itu, umat Islam tampil congkak, membanggakan kemenangan, dan lupa untuk bersyukur. Allah kemudian mengingatkan mereka bahwa jumlah mereka yang banyak tidak memberikan manfaat. Dunia terasa sempit, sehingga mereka tak lagi bersatu (QS at-Taubah: 25).
Nabi yang ujub, sebagaimana diceritakan Rasulullah, mendapatkan hukuman. Allah meminta kepadanya untuk memilih bagi umatnya satu dari tiga perkara. Pertama, musuh dengan kekuasaan, kedua, pasukan nabi mengalami kelaparan, dan ketiga, pasukan nabi mengalami kematian.
Rasulullah SAW mendapati bahwa satu dari tiga hal itu bisa melemahkan, bahkan melenyapkan kekuatan sebuah umat. Allah ingin menghilangkan ujub yang ada di hati nabi itu dan umatnya.
Jika kelaparan yang menimpa, kekuatan mereka lenyap dan mudah untuk dikalahkan. Jika mati, jumlah mereka berkurang. Memilih satu dari tiga pilihan tadi adalah perkara yang membingungkan dan perlu pertimbangan yang matang. Nabi ini telah berunding dengan umatnya dan mereka menyerahkan perkara itu kepada sang nabi.
Para nabi diberi petunjuk dan langkahnya adalah lurus. Pilihan nabi ini cukup tepat. Dia memilih kematian, bukan kelaparan atau kekuasaan musuh yang berkuasa.
Jika seseorang yang hanya menimbang dengan tolok ukur dunia, niscaya dia memilih lain dari apa yang dipilih oleh nabi itu. Mungkin, sebagian orang yang berpikiran dangkal berpendapat bahwa pilihan tepat adalah musuh yang diberi kekuasaan karena mereka akan tetap hidup walaupun musuh bisa saja membunuh sebagian dari mereka.
Namun, nabi ini tidak rela jika kaumnya dihina dan diinjak-injak. Dan pembunuhan tidak bisa terelakkan jika musuh menguasai mereka. Kelaparan adalah masalah yang berat. Bisa jadi, kelaparan menjadi penyebab kekalahan, bahkan mungkin banyak yang mati karenanya.
Sedangkan, kematian adalah sesuatu yang pasti datang. Siapa yang hari ini tidak mati, dia akan mati besok atau lusa. Tidak ada tempat berlari dan berlindung dari kematian. Nabi ini memilih kematian untuk umatnya.
Orang-orang yang kembali kepada Tuhan mereka diharapkan bisa diterima di sisi-Nya. Orang-orang yang hidup sesudah mereka diharapkan bisa meng ambil ibrah dari kehidupan yang dijalani. Bisa jadi, setelah mati, Allah menggantinya dengan ganjaran penuh kenikmatan.
Nabi ini shalat. Begitulah para nabi dan orang-orang saleh manakala menghadapi perkara besar. Mereka berdiri menegakkan shalat. Maka, dia shalat sebagaimana yang diajarkan Allah. Lalu, Allah memberinya taufik untuk memilih perkara yang paling ringan. Dia berkata kepada Tuhannya, "Adapun musuh dari selain mereka, maka jangan. Kelaparan juga jangan, akan tetapi kematian."
Kematian menyebar di kalangan mereka seperti api yang merembet di hamparan rumput kering. Satu per satu umatnya wafat. Kematian menjemput dan membinasakan generasi yang tumbuh. Dalam satu hari, ada 70 ribu orang wafat.
Akibat ujub si nabi ini sangatlah mengerikan. Rasulullah khawatir, akibat seperti ini bisa menimpa para sahabatnya. Maka, beliau berdoa setelah shalat, "Ya Allah, dengan-Mu aku berusaha, dengan-Mu aku melawan, dan dengan- Mu aku berperang."
Rasulullah mengingat kisah nabi ini. Dalam menghadapi musuh, nabi berpegang kepada Allah semata. Hanya dari Allah pertolongan dan kemenangan. Tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dari-Nya.
Hikmah
Rasulullah memberi pengertian kepa da sahabatnya tentang sebab kelemahan dan kebinasaan, di anta ranya, ujub terhadap diri. Akibat ujub sangatlah mengerikan, sebagaimana yang terjadi pada umat nabi tersebut. Hal itu karena ujub melemahkan tawakal dan menjadikan seseorang hanya bergantung kepada sebab-sebab materi.
Hendaknya, para pemimpin, panglima, dan pengendali urusan mewaspadai sifat ini. Jangan sampai, Allah menurunkan apa yang telah Allah timpakan kepada kaum nabi tadi.
Pada zaman ini ada saja pemimpin dan panglima yang mengagumi tentara dan simpatisannya. Bisa jadi, sebab turunnya ujian adalah sesuatu yang samar, hanya diketahui oleh orang yang mengerti agama Allah. Musibah seperti ini bisa menimpa kaum saleh yang berjihad, sementara mereka tidak mengetahui dari mana sebabnya.
Dahulu, umat berkembang dalam jum lah besar. Di antara mereka terdapat orang-orang yang berperang dan berjihad di jalan Allah. Kemenangan mereka raih, tapi dalam waktu singkat, sehari, 70 ribu orang dari mereka mati. Jangan main-main dengan ujub.