REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan mengusulkan subsidi harga solar bisa dibuat ambang batas atas dan batas bawah. Ambang batas yang dimaksud Jonan, total subsidi dipatok antara Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per liter. Patokan harga ini untuk mengantisipasi pergerakan harga minyak dunia yang tidak bisa diprediksi.
"Subsidi solar, nanti dikasih batas saja, bisa sampai 2.500 itu tergantung harga minyak dunia," ujar Jonan di Komisi VII DPR RI, Kamis (19/7). Sebelumnya, Menteri Keuangan mengusulkan kenaikan subsidi solar Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per liter.
Jonan menilai, saat ini realisasi Indonesian Crude Price (ICP) yang dibuat oleh Kementerian ESDM mencapai 66,5 dolar per barel. Mengingat kondisi itu, pemerintah tidak bisa memprediksi secara pasti seperti apa peningkatan ICP. "Kalau harga minyaknya makin naik, seperti apa. Turun naiknya tidak ada yang tau," ujar Jonan.
Jonan meminta kepada Komisi VII untuk bisa membahas hal ini ke Badan Anggaran nantinya. "Nanti bisa dikomunikasikan dengan Banggar ya," ujar Jonan.
Menurut Jonan, untuk total volume subsidi tidak ada yang berubah. Meski Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, volume subsidi solar naik dari 15,62 juta kiloliter menjadi 16,17 juta kiloliter. Volume subsidi solar hanya bisa mencapai 14,5 juta kiloliter. "Ini mengingat realisasi konsumsi solar hingga Juni ini baru mencapai 7,19 juta kiloliter," ujar Jonan.
Baca juga, Subsidi Energi Bengkak, Jonan: APBN tak akan Jebol.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan ada kelebihan belanja subsidi energi sebesar Rp 69 triliun pada akhir tahun anggaran 2018. Kelebihan belanja itu untuk mendukung pelaksanaan kinerja PT Pertamina dan PT PLN.
"Subsidi energi ini untuk mendukung Pertamina yang melakukan stabilisasi harga BBM dan PLN yang melaksanakan elektrifikasi di desa," kata Sri Mulyani dalam menyampaikan proyeksi realisasi APBN 2018 pada rapat kerja dengan Badan Anggaran, Jakarta, Selasa (17/7).
Sri Mulyani menjelaskan penghitungan kelebihan subsidi energi tersebut sudah memperhitungkan realisasi belanja subsidi energi pada semester I-2018 sebesar Rp 59,5 triliun atau 63 persen dari pagu Rp 94,5 triliun serta perbedaan harga solar yang ditetapkan dengan harga berlangsung.
"Kami sudah bahas ini bersama dengan Menteri ESDM dan Menteri BUMN, beserta Pertamina dan PLN untuk melihat kondisi keuangan mereka," ujarnya.
Dengan kelebihan subsidi sebesar Rp 69 triliun dari pagu, realisasi belanja energi pada akhir 2018 diperkirakan mencapai Rp 163,5 triliun. Khusus untuk Pertamina, ia mengharapkan, kenaikan alokasi belanja subsidi untuk menjaga perbedaan harga solar per liter dengan harga berlangsung. Hal itu bisa menjaga neraca Pertamina agar tidak terganggu, meski mendapatkan penugasan dari pemerintah.
"Neraca Pertamina tetap terjaga yaitu kebutuhan dari sisi operasi untuk menjalankan policy subsidi itu maupun dari sisi potensi keuntungan baik dari hulu maupun tekanan dari kegiatan hilir yang berkaitan dengan subsidi," ujarnya.