REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomsi Politik Indonesia (AEPI) Khudori turut merespons kasus penjualan Minyakita di luar takaran semestinya. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan produsen produk tersebut mengurangi isi kemasan. Kemasan yang mestinya dengan volume 1 liter (1000 mililiter) ternyata hanya berisi 750 hingga 800 mililiter.
Tak hanya itu. Ada juga yang masih menjual di atas harga eceran tertinggi (HET). Perlu diketahui HET Minyakita saat ini Rp 15.700 per liter. Keputusan ini telah berlaku sejak 14 Agustus 2024.
Menurut Khudori, penjualan Minyakita di level konsumen berada di atas HET, bukan hal baru. Menurutnya, ini sudah terjadi sejak pertengahan 2023. Teranyar, kasus yang muncul yakni produsen 'menyunat' isi produk itu.
"Dugaan saya, karena biaya pokok produksi sudah jauh melampaui HET. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni CPO, dalam negeri selama enam bulan terakhir sekitar Rp 15.000 hingga Rp 16.000 per kg. Dengan angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28 persen dan 1 liter setara 0,8 kg diketahui untuk bisa memproduksi Minyakita seharga Rp 15.700 per liter maka harga CPO maksimal Rp 13.400 per kg," jelas Pengamat Pertanian dari AEPI ini kepada Republika dikutip Senin (10/3/2025).
Ini baru menghitung bahan baku CPO, belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, kata Chudori sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi. Artinya, dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp 13.500 per liter adalah tidak mungkin tanpa kerugian.
"Pengusaha mana yang kuat jika terus merugi? Usaha mana yang sustain bila harus jual di bawah harga produksi," ujarnya.
Oleh karena itu, Khudori menilai jika tidak ada koreksi kebijakan, ada dua yang berkemungkinan terjadi. Pertama, produsen menjual Minyakita sesuai HET tapi mengorbankan kualitas. Menyunat isi kemasan bisa dimasukkan dalam konteks mengorbankan kualitas. Kedua, produsen tetap memproduksi Minyakita sesuai kualitas (termasuk tidak menyunat isi) tetapi menjual dengan harga di atas HET.
"Bahwa keduanya berisiko dan melanggar aturan, ya. Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan, yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi? Atau keduanya?"
Ia menjelaskan, Minyakita semula bernama Minyak Goreng Rakyat. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Salah satu tujuannya adalah memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melalui skema wajib pasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Pemenuhan DMO merupakan syarat eksportir CPO mendapatkan izin ekspor dari pemerintah dengan rasio tertentu sesuai dinamika pasar.
Program ini dihelat setelah gonjang-ganjing minyak goreng akhir 2021 hingga awal 2022. Saat itu harga minyak goreng melambung tinggi. Konsumen menjerit, UMKM merana. Berbagai intervensi pemerintah dilakukan, terutama dengan meracik aneka aturan. Menurut catatan, sepanjang Januari-Juli 2022 tak kurang ada 21 regulasi dibuat.
Program Minyak Goreng Rakyat kemudian digulirkan dengan skema DMO. Salah satu kelemahan skema DMO, menurut Chudori, adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Ketika harga CPO naik, otomatis harga MinyaKita juga naik. Sebaliknya, ketika harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tidak otomatis turun. Jika pun terjadi penurunan, biasanya amat lambat. Beleid ini juga potensial menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara.
Merujuk data realisasi DMO CPO dari Kementerian Perdagangan, realisasinya selalu melebihi kebutuhan, yakni 250 kiloliter per bulan. Ditambah saat ini DMO hanya untuk produksi Minyakita, minyak goreng curah tidak lagi menggunakan DMO CPO, mestinya MinyaKita melimpah. Masalahnya, tatkala harga minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan premium naik seiring kenaikan harga CPO, amat mungkin terjadi migrasi konsumen. Seiring penurunan daya beli, mereka yang semula mengonsumsi minyak curah dan minyak goreng kemasan bisa beralih ke Minyakita. Jika ini terbukti, migrasi konsumen ini juga bisa berkontribusi kepada kenaikan harga MinyaKita.
Ihwal harga di atas HET, mengacu temuan Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan adalah karena produsen menahan distribusi. Ini juga karena distribusi yang panjang hingga ada distributor level 3 dan 4 atau D3 dan D4. Versi pemerintah, distribusi MinyaKita dari produsen ke distributor I (D1) dijual seharga Rp 13.500 per liter. D1 ke D2 seharga Rp 14.000 per liter, D2 ke pengecer Rp 14.500 per liter, dan pengecer ke konsumen Rp 15.700 per liter.
Dengan demikian, tegas Khudori, tidak ada D3 dan D4. Menurutnya, agar distribusi tidak panjang perlu ada keterlibatan BUMN pangan.
"Uraian di atas menunjukkan perlu segera ada koreksi kebijakan Minyakita. Kebijakan saat ini amat tidak menguntungkan produsen. Pengelola kebun sawit, produsen Minyakita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus. Kalau ada salah satu yang harus keluar karena ekosistem tidak memungkinkan usaha berlanjut, mata rantai produksi bakal terganggu. Itulah yang berkemungkinan terjadi saat ini," tutur Khudori.
Ke depan, ia mendorong pemerintah agar membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga. Menurutnya, jika hendak mensubsidi Minyakita untuk kelompok miskin atau rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai. Uang hanya bisa digunakan untuk membeli Minyakita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli yang lain.