Selasa 31 Jul 2018 13:00 WIB

KPK Periksa Istri Gubernur Aceh

KPK juga memeriksa empat saksi lainnya.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/7).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus (DOK) Aceh tahun anggaran 2018. Pada Selasa (31/7), penyidik KPK memeriksa istri dari Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, Darwati Agani. Saat ini istri dari mantan petinggi GAM itu sedang menjalani pemeriksaan sejak pukul 09.40 WIB.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk TSB (T Saiful Bahri)," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (31/7).

Selain Darwati, penyidik juga memanggil empat saksi lainnya untuk tersangka Irwandi Yusuf. Mereka yang dipanggil adalah Apriansyah, Ade Kurniawan, Alhudri (Kadis Sosial Pemprov Aceh) dan DR Taqwa (Asisten 2 Provinsi Aceh).

KPK sebelumnya menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Irwandi dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOK Aceh tahun anggaran 2018. Lembaga antirasuah itu juga telah menahan Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf dan ajudannya Hendri Yuzal, Bupati Bener Meriah non aktif Ahmadi serta seorang pengusaha T Saiful Bahri.

Dari temuan awal, KPK menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOK Aceh dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi, dan 2 persen di tingkat kabupaten/kota.

Pada tahun ini, Aceh mendapat alokasi dana otsus sebesar Rp 8,03 triliun. Pemberian dana otsus ini tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018.

KPK menjerat Irwandi, Hendri dan Syaiful sebagai penerima suap dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan, Ahmadi sebagai pemberi dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak pidana korupsi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement