REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menekankan, cadangan devisa Indonesia saat ini masih sangat mencukupi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan begitu, menurutnya, posisi cadangan devisa saat ini mampu meyakini investor global untuk tidak melarikan modalnya dari pasar keuangan domestik (capital reversal).
Perry juga mengatakan, Bank Sentral belum melirik opsi untuk memanfaatkan fasilitas bilateral maupun multilateral, seperti perjanjian pertukaran mata uang, guna mengendalikan tekanan yang menerap nilai rupiah. Opsi fasilitas bilateral maupun multilateral, seperti perjanjian pertukaran mata uang, merupakan garis kedua pertahanan ekonomi sebuah negara (second line of defense) untuk menghadapi gejolak perekonomian.
"Cadangan devisa cukup dalam arti bukan hanya membiayai impor dan utang. Tapi, mitigasi kemungkinan 'capital reversal'," kata Perry, Kamis (16/8).
Cadangan devisa, menurut data BI, memang terus menunjukkan penurunan sejak awal Januari 2018. Pada akhir Januari 2018, cadangan devisa sebesar 131,9 miliar dolar AS dan menurun menjadi 118,3 miliar dolar AS di akhir Juli 2018.
Sebagian cadangan devisa tersebut digunakan untuk intervensi pasar saat nilai tukar rupiah tertekan. Sejak awal tahun hingga Agustus 2018 ini rupiah sudah terdepresiasi 7,04 persen. Di pertengahan Agustus 2018, otoritas moneter menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5,5 persen, sebuah langkah yang di luar ekspektasi mayoritas analis.
Kenaikan suku bunga yang melengkapi pengetatan kebijakan moneter sebanyak 125 basis poin sepanjang tahun ini diterapkan di tengah kekhawatiran efek rambatan gejolak sistem keuangan di Turki, ekspektasi kenaikan bunga Bank Sentral AS Federal Reserve di September 2018, dan membesarnya defisit transaksi berjalan.
Suku bunga acuan yang meningkat diharapkan dapat mengendalikan permintaan impor sehingga defisit transaksi berjalan dapat mengecil dan menghemat devisa yang digunakan untuk membayar impor.