REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahasiswa Palestina peraih beasiswa Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), dr Mueen Al Shurafa SpAn berhasil menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Sebelas Maret (UNS). Usai dinyatakan lulus mengikuti program tersebut, Mueen bertolak ke Gaza, Palestina, setelah sebelumnya akan singgah ke Yordania.
Mueen beserta istri dan tujuh anaknya terbang dari Bandara Adi Soemarmo, Solo, Jawa Tengah, Jumat (31/8). Mereka akan singgah ke Kuala Lumpur kemudian meneruskan perjalanan ke Yordania dan berlanjut ke Mesir hingga Gaza.
Pria berusia 47 tahun ini berhasil menyelesaikan PPDS selama kurang lebih empat tahun. Dia mengaku harus berjibaku untuk bisa lulus dalam program dokter spesialis anastesi tersebut. “Program ini susah. Terima kasih berkat bantuan para dosen, teman dan BSMI yang sudah mendukung saya,” kata Mueen sebelum berangkat, Jumat (31/8).
dr Mueen Al Shurafa SpAn (kiri) menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di UNS selama empat tahun.
Menurut dia, kehadiran dokter spesialis di Gaza amat dibutuhkan. Terlebih, wilayah tersebut merupakan daerah perang. Warga Gaza yang masih berada dalam blokade Israel sungguh rentan terhadap serangan rudal atau senjata laras panjang.
Dokter-dokter asli Gaza bukannya tidak ada. Hanya, mereka berstatus sebagai dokter umum. Kemampuan mereka pun bisa dibilang terbatas saat menangani pasien, terlebih jika menangani operasi. “Karena itu tingkat kematian setelah operasi bisa dibilang 80 persen,” jelas dia.
Wakil Dekan Fakultasn Kedokteran UNS dr Purwoko SpAn mengaku bangga dengan kelulusan Mueen yang berhasil lulus Program PPDS UNS. Menurut dia, ujian yang dilalui oleh Mueen murni ujian standar untuk calon dokter spesialis. “Bukan pura-pura,” tegas dia.
Purwoko mengaku dia sudah menganggap Mueen beserta istri dan anaknya sebagai keluarga sendiri. Tidak heran, kata dia, kepergian Mueen akan membuatnya kehilangan.
Kepada BSMI, Purwoko berharap perhimpunan kemanusiaan ini bisa meneruskan program beasiswa khusus untuk warga Palestina. Dia mengaku akan mendukung mahasiswa-mahasiswa Palestina lainnya yang hendak belajar di Indonesia. Namun, dia berpesan agar mahasiswa yang dikirim hendaklah berusia muda. “Karena ini programnya berat,” ujarnya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA) BSMI Dr dr Basuki Supartono Sp OT, FICS, MARS mengungkapkan, program capacity building untuk warga Gaza memang sulit dan tidak populer. Namun, jelas dia, kebermanfaatannya jelas akan lebih besar bagi warga Palestina.
Dia mengenang sebelum membuka program ini pada 2009 lalu. Ketika itu, dia bertanya kepada pengelola rumah sakit yang tidak segera merenovasi bangunan rusak akibat serangan Israel. “Ketika itu jawabannya buat apa dibangun kembali. Nanti juga akan rusak lagi karena rudal Israel. Setelah itu saya jadi berpikir jika capacity building yang harus digenjot. Bukan bangunan,” kata dia.
Pada tahun ini, peraih beasiswa BSMI lainnya telah berhasil menyelesaikan studinya yakni doktor politik dari Universitas Airlangga Ahmed Mohammed Omar al Madani dan dr Abdelrahman dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). BSMI memberikan beasiswa kepada enam mahasiswa asal Palestina untuk studi di Indonesia.