Selasa 04 Sep 2018 14:51 WIB

Pakar: #2019GantiPresiden Langgar Hukum Jika Ada Kekerasan

Aparat seharusnya tak larang orang-orang yang ingin kampanyekan #2019GantiPresiden.

Rep: Mabruroh/ Red: Ratna Puspita
#2019GantiPresiden.
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
#2019GantiPresiden.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan gerakan #2019GantiPresiden bukan makar sehingga tidak melanggar hukum. Karena itu, aparat keamanan seharusnya tidak melarang orang-orang yang ingin mengampanyekan gerakan tersebut. 

Margarito mengatakan gerakan itu juga tidak melanggar hukum ketika ada lebih banyak orang yang terlibat. "Memang kalau menyebar kenapa? Kan bukan tindakan melawan hukum, baru (dikatakan) melawan hukum kalau dilakukan dengan kekerasan atau tindakan itu diniatkan dilakukan dengan kekerasan," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (4/9). 

Ia mengatakan gerakan tersebut dilakukan secara terang-terangan dan mengikuti prosedur dan berlandaskan pada pemilihan umum (Pemilu) 2019. Pada kegiatannya, orang-orang yang terlibat dalam acara ini juga hanya berbicara. 

Baca Juga: Survei #2019GantiPresiden Kian Populer Meski Ditolak Warga

Terkait dengan hal yang dibicarakan, Margarito menjelaskan, terkait dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kontestasi politik tersebut bertujuan untuk memilih pemimpin Indonesia. 

"Tidak ada alasan sedikitpun untuk mengkualifikasi itu sebagai tindakan makar," kata Margarito.

Karena itu, Margarito berpendapat, apa yang dilakukan oleh masa gerakan #2019gantipresiden merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi. Ia menambahkan negara yang menganut demokrasi seharusnya melindungi melindungi apa yang dilakukan oleh masa #2019gantipresiden. 

Ia pun menilai tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan atas gerakan-gerakan tersebut. Termasuk, ia menambahkan, jika gerakan 2019 ganti presiden ini kemudian masif di kota-kota hingga ke pelosok negeri.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengutarakan pendapat yang berbeda. Ia mengatakan gerakan tagar memang tidak melanggar hukum. Namun, gerakan tersebut bisa menjadi masalah ketika dioperasionalkan menjadi aksi massa. 

Ia menjelaskan, ketika gerakan tersebut diimplementasikan dalam mimbar bebas maka memunculkan polemik karena ada masyarakat yang menolak. Apalagi, ia mengatakan, dalam konsentrasi massa itu ada ujaran kebencian atau hate speech, fitnah, dan hoaks. 

Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan memahami tindakan yang dilakukan kepolisian sebagai langkah preventif terhadap kegiatan yang menimbulkan konflik. Ia berpendapat ini terkait dengan posisi Polri sebagai penanggung jawab untuk menjaga ketertiban.

Eva mengatakan langkah preventif ini sebagaimana yang dilakukan oleh Polri saat membubarkan pertemuan akademik dan ibadah kelompok agama minoritas yang diancam kelompok intoleran pada masa lampau. Ia mengatakan daripada menimbulkan ketidaktertiban maka lebih baik tidak diberi ijin atau dibubarkan saja. 

Menurut Eva, standar prosedur operasi kepolisian memang begitu sejak dulu. "SOP-nya memang begitu kok dari dulu, saat aku membela HKBP, Ahmadiyah, dan lainnya," ucap Eva kata Eva di Jakarta, Senin (3/9). 

Polemik tagar ini menyeruak setelah adanya penolakan deklarasi #2019GantiPresiden di Pekanbaru dan Surabaya. Polri pun menyampaikan penyampaian pendapat di muka umum dilindungi undang-undang asalkan tidak mengesampingkan lima faktor.

Pertama, dalam menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Kedua, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.

Ketiga, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, menjaga dan menghornati keamanan dan ketertiban umum. Kelima, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kepolisian sudah menyatakan akan memperbolehkan tanda pagar (tagar) atau hashtag mendukung atau kontra presiden. Dengan catatan, tidak ada pihak yang mempermasalahkan tagar tersebut.

Jokowi juga sempat menyebut Indonesia memang negara demokrasi yang menjamin warganya berpendapat dan berkumpul, tetapi tetap ada batasan. Salah satunya adalah ketertiban sosial dan menjaga keamanan. “Aturan-aturan. Artinya apa? Polisi melakukan sesuatu itu untuk apa? Pertama, ketertiban sosial untuk menjaga keamanan," kata Jokowi.

Hal ini, menurut Jokowi, karena terjadi penolakan gerakan tagar 2019 Ganti Presiden. Jokowi mengungkapkan, aparat kepolisian sudah sesuai dalam menjalankan tugas seperti melakukan pencegahan agar tak terjadi konflik dan meluas di masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement