REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak pedagang Muslim yang sukses dan memiliki banyak kafilah dagang. Apalagi, dalam ajaran Islam berdagang merupakan pekerjaan yang utama.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad bersabda, “Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki,” hadis riwayat Imam Ahmad. Dari Mu'az bin Jabal, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya, sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan,” hadis riwayat Baihaqi.
Alhasil, banyak sahabat Rasulullah yang berprofesi sebagai pedagang. Makin meluas wilayah kekuasaan Islam, makin berkembang ranah perdagangan Muslimin. Perkembangan pesat terlihat di era Abbasiyah. Jika sebelumnya perdagangan masih dikuasai penganut Kristen, Yahudi, dan Zoroaster,pada era Abbasiyah mereka digantikan para pedagang Muslim.
Philip K Hitti menuturkan, pada era tersebut para pedagang Muslim di bagian Timur telah menjelajah hingga Cina. Penjelajahan tersebut dimulai sejak khalifah kedua Dinasti Abbasiyyah, Al Manshur. Sutralah yang menjadi komoditas perdagangan tersebut.
“Sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulayman Al Tajir dan para pedagang Muslim lainnya pada abad ketiga Hijriah,” kata Hitti.
Sementara, di bagian Barat pedagang Muslim era Abbasiyah telah mencapai Maroko dan Spanyol. Laut Kaspia menjadi titik pertemuan dagang favorit. Para pedagang Muslim membawa kurma, gula, kapas dan kain wol, serta peralatan baja dan gelas.
Mereka mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah dan sutra dari Asia serta mengimpor gading dan kayu eboni dari Afrika. Bahkan, menurut Hiiti, 1.000 tahun sebelum de Lesseps, khalifah Harun telah lebih dulu mengemukakan gagasan penggalian kanal di sepanjang Istsmus di Suez.
Kala itu, pedagang merupakan seorang yang kaya raya. Di Siraf, misalnya, rumah seorang pedagang bisa bernilai lebih dari 10 ribu dinar. Bahkan, terdapat saudagar maritim yang rumahnya senilai empat juta dinar. Aktivitas perdagangan kala itu memang amat ramai.
Namun, kemajuan perdagangan itu hanya sejarah di masa lalu, yakni di masa kejayaan Islam. Semakin maju zaman, Muslimin justru mulai meninggalkan perdagangan. Lihatlah sekarang ini, perdagangan dunia justru dikuasai non-Muslim.
Menurut catatan Organisai Kerjasama Islam (OKI), dalam buku Menuju Tata Baru Ekonomi Islamkegiatan perdagangan sesama negeri Muslim hanya 12 persen dari jumlah perdagangan negara-negara Islam.
Alhasil, banyak ekonomi negeri Muslimin yang jatuh. Muslim tertinggal dengan bangsa lain dalam segi kemajuan ekonomi. Padahal, banyak ayat Alquran yang membahas perdagangan. Rasulullah pun sangat menganjurkan berdagang.
Menurut Pakar Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Hendra Kholid MA, sistem ekonomi syariah yang dipelajari modern kini telah ada sejak zaman Rasulullah. Jika menilik gaya bisnis Rasulullah, ialah sang bapak entrepreneur.
Menurut Ketua DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Agustianto dalam artikelnya, Muslimin saat ini perlu menengok bangsa Arab, terutama kaum Quraisy yang merupakan nenek moyang Rasulullah. Mereka mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumber daya alam di negeri. Kemampuan tersebut pun digambarkan Allah dalan surah Quraisy.
Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Alquran saatini, kata Agustianto, mungkin terdapat pada Singapura atau Hong Kong. Negeri tersebut amat miskin sumber daya alam, tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di regional Asia Tenggara dan pasifik.
“Bagaimana dengan Indonesia yang luas salah satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumber daya alam yang ribuan kali lipat? Mungkin, kita harus bercermin pada Alquran yang selama ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi,” ujarnya.