REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) menilai pendidikan di Kota Bandung masih jauh dari harapan. Pemerintah dinilai gagal menjalankan tugasnya dalam meningkatkan pendidikan di Kota Bandung. Pendidikan di Ibukota Provinsi Jawa Barat ini dianggap masih jalan di tempat.
Salah satu bentuk kegagalan tersebut adalah masih adanya sekolah yang rusak dengan furnitur yang tidak layak pakai. Salah satunya adalah SD Haurpancuh I-IV yang terletak tidak jauh dari gedung pemerintahan provinsi. “Sekolah ini hanya 100 meter dari Universitas Padjadjaran," tutur guru Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) SD Haurpancuh, Adang Suryana, kepada wartawan, Selasa (27/12).
Sekolah sudah beberapa kali merenovasi gedung yang terdiri dari empat sekolah ini. Pada 2008 renovasi dilakukan untuk dua kelas, kemudian pada 2009 kembali direnovasi empat kelas. Hanya saja renovasi tersebut tidak menyeluruh dan disertai dengan penggantian furnitur baru. Akibatnya, bangunan yang sudah direnovasi menurun kualitasnya dan siswa sekolah terpaksa belajar di meja dan kursi yang rusak.
Sekolah juga telah mengajukan permintaan untuk perbaikan dan penambahan ruang kelas pada 2008. Hanya saja hal tersebut belum terealisasi. Pihak sekolah harus mengantre beberapa tahun agar sekolahnya dapat diperbaiki oleh pemerintah. “Perbaikan yang dilakukan pada 2008 dan 2009 itu juga sudah diminta jauh sebelum diperbaiki,” tutur Adang.
Sekolah ini merupakan tempat belajar sekitar 700 siswa setempat yang sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka harus belajar di 12 ruang kelas yang kondisinya mengkhawatirkan. Di kelas pun mereka harus berdesak-desakan karena satu kelas dipakai 50 siswa sehingga kegiatan belajar tidak efektif.
Sekolah berencana akan membangun 20 kelas untuk empat sekolah. Hanya saja pembangunan ini membutuhkan bantuan pemerintah karena orangtua siswa SD Haurpancuh rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu.
Hal lain yang dikritisi oleh Koalisi Pendidikan Kota Bandung adalah tidak berpihaknya pemerintah kota pada guru honorer. Perwakilan Forum Komunikasi Guru Honorer (FKGH) yang hadir pada pertemuan tersebut, Yanyan Herdian, mengungkapkan pemerintah menganaktirikan guru honorer. Hal ini terbukti dari sedikitnya kesempatan guru honorer untuk mengikuti sertifikasi. “Hanya 15 persen,“ kata dia.
Pemerintah lebih mementingkan kesejahteraan guru PNS yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan guru honorer yang mencapai 13 ribu orang. Itu baru di Kota Bandung. Hal ini mengakibatkan minimnya kerejahteraan guru tersebut. Sebagai akibatnya, banyak guru yang melakukan "pemalakan" pada orang tua siswa sebagai upaya mencari tambahan penghidupan.
Salah satu caranya adalah dengan menyodorkan kuitansi sumbangan sukarela setiap pembagian rapor siswa. “Judulnya sukarela, namun orang tua wajib membayarnya," kata Ketua Forum Orangtua Murid Kota Bandung, Nenden Rosana.