REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ditengarai bocor. Hal itu diungkapkan GGW (Garut Government Watch), KMRT (Koalisi Mahasiswa Rakyat Tasikmalaya) dan ICW (Indonesia Corruption Watch), dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Rabu (15/2).
Menurut investigasi ketiga LSM tersebut, kebocoran terjadi karena sekolah diminta untuk menyetor atau membeli barang dan jasa yang telah diatur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kanwil Kemenag.
Besaran 'sumbangan' tersebut berkisar antara Rp 5 ribu hingga Rp 15 ribu per murid per bulan. "Jika sekolah menyetor dengan nilai terendah maka hal tersebut berarti sama dengan 10 persen dari total dana BOS yang berhak diterima seorang murid SD selama sebulan. Persentase ini meningkat manakala jumlah setoran tersebut lebih dari Rp 5 ribu/murid/bulan," tulisnya.
'Setoran' tersebut dilakukan melalui UPT (Unit Pelaksana Teknis) Dinas Pendidikan tingkat kecamatan, KKKS (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) atau KKKM (Kelompok Kerja Kepala Madrasah).
Seperti diketahui bahwa kepala sekolah selalu melakukan pertemuan rutin bulanan di UPTD kecamatan atau pertemuan rutin KKKM untuk kepala madrasah. Pembayaran bisa dalam bentuk tunai, pemotongan gaji kepala sekolah di UPT kecamatan dan kemudian dibayar dengan dana BOS, mark up harga pengadaan barang dan jasa sekolah atau kegiatan lain yang wajib dibayar oleh pihak sekolah.
Berdasarkan pengakuan beberapa kepala sekolah penerima dana BOS di Garut dan Tasikmalaya, mereka diminta untuk memberikan sumbangan iuran KKKS atau gugus, dana taktis materai, bangunan kantor dan operasional UPTD kecamatan, gedung olah raga PGRI, akreditasi, pemeriksaan atau jamuan tamu, transportasi pejabata UPTD, dan infaq dana sosial. Pungutan ini merupakan hal yang dilarang dalam juknis dana BOS.