Jumat 12 Sep 2014 20:01 WIB

Unair Kukuhkan Guru Besar ke-425

Rep: C54/ Red: Djibril Muhammad
Logo Unair
Logo Unair

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Universitas Airlangga (Unair) Surabaya akan memiliki tambahan tiga Guru Besar. Ketiga Guru Besar tersebut adalah Budi Prasetyo (Prof. Dr. drs., M.Si) di bidang Politik Lokal,  Joewono Soeroso (Prof. Dr., M.Sc., dr., Sp.PD-KR) di bidang Penyakit Dalam, serta Hery Purnobasuki (Prof. H., Drs., M.Si., Ph.D) di bidang Ilmu Biologi.

Ditinjau dari rentang sejarah Unair sejak berdiri pada 1954, ketiga akademisi senior tersebut akan dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-425, ke-426, dan ke-427. Pengukuhan ketiganya akan dilakukan melalui mekanisme sidang terbuka di Kampus C Unair, Surabaya, pada Sabtu (13/9) besok.

Dalam orasi akademiknya pada jumpa wartawan, Rabu (10/9) masing-masing menyampaikan buah pikir mereka tentang sejumlah persoalan kontemporer. Budi Prasetyo mengemukakan tentang pentingnya sikap responsif birokrasi lokal terhadap perkembangan masyarakat yang dinamis.

Menurut Budi, reformasi politik tahun 1998 membawa berkah perubahan terhadap manajemen birokrasi di Indonesia. Menguatnya desentralisasi dalam mewujudkan otonomi daerah seluas-luasnya harus didukung dengan perubahan manajemen birokrasi sehingga terwujud efisiensi waktu, tenaga, anggaran, dan penyelesaian masalah yang lebih sesuai dengan karakteristik daerah.

Budi berpendapat, perubahan tatanan sosial menjadi tantangan yang harus disambut oleh birokrasi di tingkat daerah. Usai reformasi politik tahun 1998, menurut dia, hegemoni birokrasi mulai diseimbangkan oleh kekuatan ekonomi dan komunitas.

"Birokrasi sebagai pelaksana fungsi pemerintahan harus mengubah karakter serta gaya pemerintahannya, dari paradigma old public management menuju new public management. Birokrasi harus memulai mengadopsi gaya sektor privat ketika memberikan pelayanan kepada customer," ujar pria kelahiran Kediri, 19 Juli 1965 tersebut.

Sementara itu, Joewono Soeroso, dalam orasinya mengemukakan gagasan mengenai Evidence Based Medicine (EBM) sebagai inspirasi pada riset translasional penyakit lupus.

Menurut Joewono, penyakit reumatik otoimun, termasuk SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau lupus, telah meninggalkan beban berat bagi masyarakat. Menurut Joewono, diagnosis dan tatalaksana pasien lupus harus dilakukan dengan efektif, efisien dan bermoral.

Evidence-based medicine (EBM) adalah pengelolaan pasien yang mengaplikasikan hasil riset terapan medis yang terbaik. "Hasil riset terapan dilihat validitas dan manfaatnya, serta keterjangkauannya, yakni aspek murah dan mudah didapat," ujar Kepala Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unair tersebut.

Terakhir, Hery Purnobasuki mengangkat orasi bertajuk 'Mengembangkan Anatomi Tumbuhan Sebagai Kajian Biologi yang Menarik dan Bermanfaat dalam Berbagai Aspek Kehidupan.'

Dalam orasinya, antara lain dikedepankan upaya pentingnya mengembangkan ilmu dasar, khususnya anatomi tumbuhan sebagai kajian ilmu dasar dalam rumpun Ilmu Biologi, sebab memiliki manfaat besar dalam aplikasi kebutuhan hidup manusia.

Menurut Hery, hari ini perhatian negara berkembang, termasuk Indonesia, terhadap usaha merawat dan mengembangkan ilmu dasar masih kurang, sehingga teknologi berbasis ilmu dasar ini lebih banyak diambil negara-negara maju.

"Kita hanya bisa jadi konsumen atau pekerja. Kita harus impor berbagai suku cadang karena tak bisa menciptakan teknologinya dan kalah bersaing dengan Barat. Bila keadaan ini berkepanjangan maka Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni dalam pengajaran maupun penelitian sains dasar," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement