Senin 02 Mar 2015 11:17 WIB

Himastron ITB Ajak Melihat Matahari dan Gerhana Bulan Lebih Dekat

Rep: mj01/ Red: Agus Yulianto
Teropong matahari
Foto: Dina Yanuary
Teropong matahari

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- "Ayo, dek, lihat matahari lebih dekat yuk," kata salah satu mahasiwa berjaket biru hitam dengan tulisan Himastron sembari menunjuk teleskop yang berada di sebelahnya. Teleskop sepanjang satu meter melintang di atas kerangka kaki tiga (tripod) di Car Free Day (CFD) Dago. Pengunjung pun mulai berdatangan, membentuk antrean barisan sepanjang tiga meter untuk melihat matahari secara dekat.

Salah satu pengunjung, Rizkia Almira Patudin ikut berbaris di sana. Ia datang bersama ibu dan adiknya. "Warna mataharinya oren, ada jerawatnya," kata anak berusia 6 tahun itu. Selain anak-anak, orang dewasa pun banyak yang berdatangan ingin melihat rupa matahari secara dekat.

Kegiatan observasi itu rutin dilakukan oleh Mahasiswa Himpunan Astronomi (Himastron) ITB sejak tahun 2000. "Tiap tahun diadakan, kami melakukan observasi matahari biasanya dua bulan sekali," ujar Irfan Imaduddin, anggota Himastron ITB, akhir pekan.

Menurut Irfan, CFD dipilih sebagai tempat observasi karena akomodasinya dekat dari ITB, dan juga sebagai titik pusat massa. "Selain itu, kegiatan ini memang sengaja dilakukan di tengah masyarakat karena kami ingin mengenalkan ilmu astronomi pada mereka," ucap pria berkacamata itu.

Antusiasme masyarakat dengan adanya observasi tersebut tergolong tinggi. Dalam kegiatan observasi matahari itu, Irfan menuturkan, Himastron memiliki target 200 pengunjung tiap observasi. "Tapi, Alhamdulillah sekali observasi, ada 500 pengunjung yang datang," kata mahasiswa semester empat tersebut.

Selain menggunakan teleskop khusus matahari berjenis reflektor, pengunjung juga bisa melihat langsung matahari menggunakan kacamata hitam yang sudah disediakan Himastron. "Kalau melihat langsung itu bisa berbahaya, tapi kalau pakai kacamata matahari itu aman karena fungsinya sama saja dengan teleskop reflektor," paparnya.

Irfan menjelaskan, pengunjung bisa melihat jerawat matahari atau titik hitam matahari saat melakukan observasi. "Titik matahari itu bisa berubah selama 11 tahun sekali. Terjadi karena perbedaan suhu permukaan satu dengan yang lainnya," ujarnya menjelaskan.

Sembari membagikan kacamata pada pengunjung, Irfan menuturkan, observasi matahari itu tidak seperti observasi bintang yang sangat terpengaruh dengan cuaca. "Kendalanya hanya kalau ada awan sedikit, itu bisa mengganggu pandangan observator," ucapnya.

Dengan adanya observasi ini, Irfan mengatakan, banyak tanggapan positif dan rasa ingin tahu yang lebih dari masyarakat.

"Kami banyak dapat pertanyaan lugu dari pengunjung, seperti benar enggak Neil Amstrong itu mendarat di bulan, atau lidah matahari itu ada enggak sih," katanya sembari tertawa kecil. Di sanalah para mahasiswa Himastron memberikan penjelasan yang sebenarnya pada para pengunjung.

Kala ditanya perihal teleskop, Irfan menuturkan, ITB memiliki 10 teleskop untuk observasi, empat di antaranya adalah teleskop reflektor. Sebenarnya, teleskop reflektor tak hanya digunakan untuk observasi matahari, tapi juga observasi bulan. "Bedanya, kalau untuk observasi malam atau bulan, tidak menggunakan filter. Selani itu, observasi malam hanya dilakukan oleh mahasiswa ITB," ujarnya.

Namun, ada kabar baik untuk para pengunjung yang juga ingin mencoba observasi malam. Pada Sabtu, 4 April 2015 mendatang, rencananya Himastron beserta Prodi Astronomi ITB akan mengadakan observasi malam di Alun-alun Kota Bandung. "Siapa saja boleh ikut, dan gratis," ucapnya.

Dalam perhitungan astronomi, tepat pukul 19.00 WIB, gerhana bulan total akan terjadi. "Bandung termasuk daerah yang bagus sebagai tempat observasi, maka dipilihlah alun-alun karena di sana merupaka titik pusat warga Bandung," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement