REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR -- Kebijakan Otonomi Khusus Papua yang berlandaskan dalam UU No.21 Tahun 2001 merupakan respons atas upaya menyelesaikan persoalan politik di bumi Papua. Hal ini dirasakan sebagai sebuah kebijakan yang diambil sebagai jalan tengah terhadap kondisi obyektif atas adanya tuntutan untuk memerdekakan diri dari NKRI.
Oleh karena itu, implementasi kebijakan otonomi khusus Papua yang telah berjalan lebih dari satu dasawarsa ini, seyogyanya telah mampu memenuhi rasa keadilan atas berbagai kebijakan pemerintah. Terutama, terhadap akses pembangunan dan kesejahteraan masyarakat kemudian mewujudkan penegakkan hukum serta upaya penuh dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia di Provinsi Papua.
Namun, pada tataran impementasi justru pelaksanaan otonomi khusus di Papua menuai berbagai problematika. Sehingga, otonomi khusus yang mempunyai cita-cita luhur justru meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah.
Salah satu penyebabnya adalah tata kelola informasi yang belum terbina dengan baik. Otonomi khusus memang terinformasikan kepada masyarakat luas (utamanya dalam hal ini di kota dan Kabupaten Jayapura) tetapi tidak well-informed.
Kemudian, selama diselenggarakannya otonomi khusus, tidak dapat dinafikan bahwa dimensi politik lebih mewarnai, politik pemekaran daerah. Sehingga, dapat dikaji apakah peristiwa politik tersebut seirama dengan lahirnya program-program konkret guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua.
Selanjutnya dalam sebuah kebijakan penting adanya perumusan aturan tata laksana otonomi khusus, salah satunya adalah pengelolaan dana otonomi khusus Papua. Perlu ada upaya mengkaji apakah telah tercipta kerangka aturan yang dapat menjamin dana Otonomi Khusus tepat menuju pada pembangunan dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Hal inilah yang kemudian pada akhirnya membuat kebijakan otonomi khusus menjadi sebuah kebijakan yang terindikasi tidak partisipatif. Menjadi sebuah kebijakan yang kontradiktif dengan tujuan awal karena kebijakan dijalankan dengan perspektif tunggal dari pemerintah sehingga tidak mampu menyentuh persoalan lain di luar konteks politik seperti kesenjangan antara pusat dan Papua, antara daerah lain dengan Papua, bahkan antara penduduk asli Papua dengan pendatang.
Terlepas dari berbagai kelemahan implementasi yang merujuk pada kekhawatiran terhadap inkonsistensi kebijakan otonomi khusus, maka pelaksanaan otonomi khusus di Papua perlu dilakukan berbagai upaya pembenahan guna memposisikan kembali bahwa otonomi khusus mempunyai makna yang penting bagi pemberian afirmasi kebijakan pembangunan yang seluas-luasnya ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat-dan rakyat yang ada di Papua.
Untuk itu, kata Kepala UPT Humas Unpad Soni Akhmad Nulhaqim mengatakan, program studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Padjadjaran menyelenggarakan kegiatan seminar nasional. Seminar ini, kata dia, mengambil tema ‘Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Pembangunan Politik dan Ekonomi, Perspektif Politik dan Keluarga’, pada Selasa, 24 Maret 2015, bertempat di Bale Sawala, Gedung Rektorat, Kampus Unpad Jatinangor, pukul 08.00–13.00 WIB.
Seminar nasional ini menghadirkan pembicara Prof Dr Drs H Utang Suwaryo MA. (Guru Besar Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad), Prof Dr H Rizal Djalil MM. (Guru Besar Luar Biasa Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad dan mantan Ketua BPK RI), Lukas Enembe SIP (Gubernur Papua), dan moderator Prof Dr Drs H Dede Mariana M.Si (Guru Besar Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad).
.