REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR RI mendesak Kementerian Agama untuk mengkaji ulang Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 68 tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada perguruan tinggi keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay mengatakan jika pemlihan rektor dilakukan oleh Menteri Agama maka akan mematikan budaya demokrasi di kampus.
"Masyarakat awam dipercaya untuk berdemokrasi lewat pileg, pilpres dan pilkada. Sementera para guru besar yang mengajarkan demokrasi dianggap tidak mampu berdemokrasi. Apalagi alasan Kemenag adalah pemilihan rektor oleh senat sering sekali menimbulkan perpecahan di kampus," ujar Saleh kepada Republika, Rabu (6/1).
Ia menjelaskan, walaupun terdapat tim seleksi namun pemilihan rektor oleh Menag justru dikhawatirkan akan menimbulkan politisasi. Sebab hanya orang-orang yang dekat dengan Menteri yang akan dipilih. Selain itu, menteri yang berasal dari parpol patut dikhawatirkan akan memperioritaskan rektor yang sejalan dengan partainya. Sehingga paling tidak membantu membesarkan dan berkontribusi untuk partainya.
Ia melanjutkan, berdasarkan penelususran komisi VIII pada saat kunjungan kerja beberapa waktu lalu, banyak rektor dan profesor aktif yang tidak setuju dengan adanya PMA ini. Ini artinya mereka lebih senang pemilihan rektor tetap otonom melalui senat di kampus.