REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur, berkolaborasi dengan Universitas Wismar Jerman melakukan penelitian pemberdayaan potensi pulau terluar. Saat ini, sudah ada dua pulau yang dituju yakni Pulau Poteran di Madura dan Pulau Maratua di Kalimantan Timur.
Perwakilan Universitas Wismar, Dr Ing Wolfgang Busse, mengatakan penelitian bersama ITS untuk memberdayakan potensi pulau-pulau terluar Indonesia dilakukan melalui proyek bernama Sustainable Island Development Initiatives (SIDI).
Pulau Poteran mempunyai potensi sumber daya alam berupa daun kelor. Masyarakat di pulau tersebut diberdayakan untuk mengembangkan ekstrak daun kelor yang bisa digunakan sebagai obat. Sementara Pulau Maratua memiliki potensi wisata bahari yang bisa dikembangkan untuk wisatawan lokal dan asing.
"Kami akan bekerja sama untuk mengembangkan pulau-pulau terluar, mengembangkan ekonomi di pulau-pulau tersebut," jelasnya, seusai mendampingi Duta Besar Jerman untuk Indonesia Michael Freiherr von Ungern-Sternberg, mengunjungi ITS, Jumat (9/6).
Wakil Rektor ITS Bidang Penelitian, Inovasi dan Kerja Sama, Ketut Buda Artana, menambahkan ke depannya, kedua universitas akan mengembangkan penelitian di Pulau Natuna. Potensi yang bisa dikembangkan di pulau tersebut berupa enerfi terbarukan. "Untuk pengembangan energi terbarukan di Pulau Natuna ini masih akan kami diskusikan lebih lanjut dengan Kementerian Luar Negeri," jelasnya.
Dalam kunjungan di gedung Rektorat ITS tersebut, rombongan Dubes Jerman melakukan diskusi dengan jajaran pimpinan dan peneliti ITS. Salah satu tema yang dibahas mengenai energi terbarukan.
Michael Freiherr menyinggung tentang nuklir sebagai energi terbarukan baik di Indonesia maupun Jerman. "Jerman memang sempat mempertimbangkan penggunaan nuklir sebagai energi terbarukan," ujarnya.
Namun, Jerman memiliki kekhawatiran dalam mengembangkan nuklir. Salah satunya karena melihat peristiwa Fukushima yang memiliki dampak sangat besar akibat adanya kegagalan dari energi nuklir.
Sehingga dibuat keputusan politik untuk memberhentikan penggunaan nuklir sebagai energi terbarukan.
"Orang-orang seringkali berkata terlalu banyak dampak yang akan ditimbulkan, dan sangat butuh banyak waktu untuk memperbaiki suatu negara akibat kegagalan nuklir," jelasnya.