REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Siapa yang tidak kenal dengan ikan nilem (Osteochilus hasselti)? Yup, ikan mungil yang terkenal dengan manfaatnya, yakni sebagai media terapi kesehatan. Sudah sejak lama ikan nilem dimanfaatkan untuk dijadikan sarana terapi kesehatan melalui kaki pasien. Ikan yang berukuran kecil ini pada mulutnya ditutupi lipatan kulit lunak yang berumbai dan tanpa gigi sehingga memudahkannya untuk menghisap kulit mati, dedaunan atau pun makanannya.
Ikan nilem memiliki potensi ekonomi yang baik. Berkat rasanya yang gurih dan enak, beberapa daerah seperti Bandung, Cianjur, Tasikmalaya dan Garut sering memanfaatkan ikan ini menjadi olahan makanan yang bernama baby fish. Bentuknya ada yang diproduksi tinggal goreng atau ada yang sudah diberi tepung dan digoreng. Tidak hanya itu, ikan nilem ini telah di ekspor sebagai salah satu bahan penghasil caviar yang merupakan salah satu makanan mewah.
Tingginya potensi ikan nilem ini mendorong mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni An’an Ansari Isman, Cahyo Purnomo, Yurid Kushendarsyah dan Puput Septiyaningsih mengembangkan inovasi budidaya ikan nilem dengan menggunakan hormon OODEV dan tepung kunyit. Melalui ajang Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKM-P) 2017 ini mereka berinisiatif untuk mengembangkan teknologi budidaya ikan agar tersedia benih dalam jumlah dan mutu yang memadai.
Siaran pers IPB yang diterima Republika.co.id, Kamis (6/7) menyebutkan, ikan nilem merupakan salah satu ikan air tawar yang tumbuh dengan baik di Indonesia. Selain tahan terhadap serangan penyakit, ikan nilem juga senang mengonsumsi pakan alami dari kelompok ganggang yang tumbuh di perairan. Sehingga, tidaklah mengejutkan bila ikan nilem ini sering membantu para nelayan untuk membersihkan jaring apung dari peryphton dan tumbuhan yang menempel pada jaring.
“Kami memilih ikan nilem untuk dibudidayakan karena kami mengetahui bahwa ikan nilem berkembang biak hanya pada saat musim hujan saja (musiman). Karena itu, perlu dibuat sebuah teknologi budidaya yang dapat meningkatkan produsi benih sehingga kebutuhan benih ikan dapat tersedia secara berlanjut,” ujar An’an.
Penelitian yang dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan IPB dan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar di Sukabumi ini menggunakan ikan nilem betina yang sebelumnya telah ditebar, guna beradaptasi pada lingkungan baru selama tiga hari. Setelah itu ikan betina ini dipelihara dan diberi pakan komersial yang telah dicampur dengan hormon OODEV dan tepung kunyit. Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) dengan bobot tiga persen dari massa ikan.
An’an menambahkan, pembuatan pakan dilakukan dengan mencampurkan pakan dan tepung kunyit dengan metode coating. Metode coating ini dilakukan dengan mencampurkan pakan yang sebelumnya telah dibuat dengan CMC sebesar 1%/kg yang berfungsi sebagai pengikat. Setelah itu hormon yang telah ditambah air kemudian disemprotkan pada pakan tadi. “Kami berharap bahwa, penelitian ini dapat membantu industri perikanan di Indonesia semakin tumbuh pesat,” tutur An’an Ansari Isman.