REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Studi Agrometeorologi yang didirikan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) merupakan satu-satunya program studi yang ada di Asia Tenggara. "Program studi ini sudah berdiri sejak tahun 1979," kata Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, Prof Handoko, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (5/8).
Handoko dalam Orasi Ilmiahnya berjudul "Ilmu dan Teknologi Agrometeorologi: Perkembangan dan Tantangan Ilmiah untuk Masa Depan Pertanian Indonesia" menjelaskan peran penting Agrometeorologi dalam memajukan pertanian di Tanah Air.
Ia menjelaskan, kemajuan dalam penggunaan Information and Communication Technology (ICT) telah memicu perkembangan model simulasi pertanian dalam kajian unsur cuaca dan proses fisiologi tanaman.
Menurut dia, variasi iklim telah dirasakan oleh para petani sejak zaman Kolonial Hindia Belanda. Melalui ilmu Agrometeorologi, tanaman tebu dan Jati bisa tumbuh baik di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki curah hujan rendah. Sementara tanaman kelapa sawit yang memerlukan curah hujan tinggi, tumbuhnya di Jawa Barat dan Sumatera.
"Pertanian secara luas merupakan proses pemanenan energi surya dengan memanfaatkan sumberdaya hayati untuk menghasilkan pangan, sandang dan papan bahkan energi terbarukan dan bahan baku obat farmasi lainnya," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pengembangan ilmu dan teknologi agrometeorologi sangat dibutuhkan untuk penentuan efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman demi meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia di masa mendatang.
Menurutnya, salah satu contoh pemanfaatan ilmu agrometeorologi adalah teknologi Remote Sensing. Remote Sensing adalah teknologi yang maju dalam penerapannya pada bidang agrometeorologi.
Para peneliti, lanjutnya, menggunakan data NOAA untuk menduga NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yang kemudian dipakai sebagai masukan model simulasi tanaman padi (Shierary Rice v2.0) menggantikan data-data cuaca.
Selanjutnya model dijalankan tiap hari dengan memasukkan input data satelit NOAA yang telah diseleksi pada masing-masing pixel (x, y).
"Satu pixel mewakili satu hektar lahan," katanya.
Ia mengatakan, keluaran disajikan dalam bentuk spasial sesuai dengan wilayah administratif baik kabupaten maupun provinsi. Keluaran yang disajikan adalah luas panen (dalam hektar) dan hasilnya (ton per hektar) pada masing-masing hari.
Menurutnya, jika tampilannya berwarna hijau, maka daerah tersebut belum waktunya panen, tetapi jika warnanya kuning, maka wilayah tersebut sudah siap panen.
"Jadi penggunaan teknologi ini memudahkan kita mendapatkan data yang riil dan akurat.
Ia menyebutkan, saat ini IPB telah mengembangkan Automatic Weather Station (AWS) yang mengukur tujuh parameter cuaca meliputi radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, arah angin, curah hujan dan tekanan udara untuk lokasi-lokasi di daerah dengan terkoneksi jaringan internet.
Data dari AWS bisa digunakan oleh petani untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi iklim di sekitar AWS. Data-data yang terkumpul oleh AWS dapat diakses melalui alamat http:://www.ipbch.net/aws.
"AWS ini buatan sendiri sehingga lebih murah," katanya.
Handoko menambahkan, pihaknya telah memasang beberapa stasiun cuaca yang telah dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia. Dahulu Belanda mempunyai 8 ribu stasiun iklim yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka untuk mensejahterakan petani, dibutuhkan juga 8 ribu AWS yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, lanjutnya, ilmu agrometeorologi ke depan bisa juga diterapkan dalam segala aspek pertanian, dari dunia agronomi hingga kehutanan. "Perkembangan agrometeorologi di dunia kehutanan memungkinkan perkembangan model simulasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dapat digunakan untuk melakukan monitoring kegiatannya dari aspek hidrologi," katanya.