REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) tengah melakukan kajian mengenai pengurangan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS). Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti), M Nasir mengungkapkan, selama ini SKS yang ada pada perkuliahan di perguruan tinggi sangat membebani mahasiswa.
“Masalah ini baru kita bicarakan,” ujar dia, usai menghadiri Paparan Capaian 4 Tahun Kinerja Kemenristekdikti, di gedung Prof Soedharto, kampus Universitas Diponegoro (Undip), Tembalang, Kota Semarang, Jumat (30/11).
Menristekdikti menyampaikan, di luar negeri untuk menjadi seorang Undergraduate hanya butuh 120 SKS. Sedangkan di Indonesia sekarang ini mencapai 144 SKS. Kendati begitu, di luar negeri S1 diakui sebagai Undergraduate dan tidak pernah diakui sebagai master.
Sedangkan untuk Diploma, mereka hanya butuh 90 sampai 100 SKS. Inilah yang akan kita lakukan penataan ulang. “Kemungkinan akan ada perubahan, tapi saya sedang minta kajian para eselon I di lingkungan Kemenristekdikti dan meminta masukan dari berbagai perguruan tinggi,” kata dia.
Menristekdikti mengaku, melontarkan hal ini berkali- kali agar kalangan perguruan tinggi memahami kondisi yang sesungguhnya. Sebab kalau tidak kompetitif pada kenyatanya daya saing perguruan tinggi nasional lebih rendah. Ia juga menyebut, dengan baban SKS yang ada saat ini, mahasiswa sangat terbebani dan itu membuat mata kuliah menjadi tidak fokus. Beban SKS pasti juga terkait dampak pembiayaan.
Beban SKS yang terlalu banyak, tentunya juga bedampak pada jumlah dosen yang terlalu banyak. “Jadi semua itu akan mempengaruhi, makanya bagaimana dapak tersebut bisa dikurangi,” kata Nasir.