REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Mardiyati mengembangkan inovasi pemanfaatan sampah botol plastik. Limbah botol ini dimanfaatkan sebagai bahan filamen untuk produk 3D printing.
Mardiyati memulai penelitiannya berawal dari persoalan sampah, termasuk sampah plastik yang masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan. Di sisi lain, plastik sangat dibutuhkan, karena materialnya yang ringan, mudah dibentuk, murah dan hampir semua kebutuhan sehari-hari memakai plastik. Namun, setelah selesai dipakai sampah plastik termasuk yang sulit diurai di alam sehingga mencemari lingkungan.
Ia mengatakan pemanfaatan dan permintaan filamen cetak 3D saat ini sedang meningkat secara signifikan. Sementara itu, filamen cetak 3D komersial yang tersedia di pasaran bahannya mahal, dan masih impor dari luar negeri. Untuk itu, Dr Mardiyati mencari bahan lain sebagai bahan filamen yaitu menggunakan termoplastik dari sampah botol air mineral.
Termoplastik adalah salah satu bahan yang dapat didaur ulang dan dimanfaatkan kembali menjadi suatu produk baru dengan melalui suatu proses pemanasan. Oleh karena itu penelitian ini berfokus pada pengembangan dan pemanfaatan termoplastik sebagai bahan baku untuk filamen cetak 3D. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan filamen cetak 3D yang terbuat dari termoplastik dan untuk mengkarakterisasi kinerja filamen termoplastik.
Penelitian dan pengembangan filamen tersebut dilakukan di Green Polymer Lab, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB. Dr. Mardiyati mengawali penelitiannya pada tahun 2016 dan selesai pada 2018. Penelitian tersebut kemudian berhasil mengembangkan filamen 3D printing dari sampah tutup botol yang berbahan dasar Polipropilena dan botol air mineral yang berbahan dasar PET. Penelitian ini pun sudah memiliki hak paten.
"Filamen jenis ABS dan PLA sangat mahal dan tinggi di pasaran. Berangkat dari hal tersebut, tercetuslah ide pembuatan filamen dari sampah plastik menjadi produk. Kenapa kita tidak mencoba membuat filamen sendiri dari sampah plastik untuk bahan 3D printing," kata Dr Mardiyati seperti dilansir dari siaran pers ITB, Jumat (18/1).
Ia menuturkan dalam proses pembuatannya langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan limbah tutup botol, lalu mencacahnya menjadi potongan kecil. Setelah itu, hasil cacahan dimasukan ke dalam mesin ekstrusi, hingga keluarannya seperti gulungan benang. Filamen inilah yang nantinya akan menjadi bahan untuk pembuatan 3D Printing.
Untuk mesin 3D printingnya sendiri dibeli di pasaran dan dimodifikasi ulang untuk dapat digunakan filamen tersebut jenis termoplastik. Selain itu, Dr Mardiyati juga berhasil mengembangkan penelitian bahan filamen dari botol plastiknya, tidak hanya tutupnya saja.
"Perbedaan antara bahan filamen dari tutup botol dan boto plastiknya adalah dari sisi proses ektrusinya. Kalau yang dari tutup botol melelehkannya cukup 180 derajat saja, namun untuk bodi plastik itu perlu suhu 240 derajat, dan ada campuran khusus," lanjutnya.
Selain mengenai filamen, Mardiyati bersama Tim Green Polymer Lab juga melakukan penelitian lain tentang limbah plastik. Salah satunya ialah mendaur ulang sampah plastik menjadi bahan kerajinan. Bahkan ada yang tertarik atas hasil sampah daur ulangnya untuk dijadikan alat praga edukasi anak yang akan dipamerkan di Kedutaan Belanda.
"Harapan yang ingin disampaikan, saya selalu ingin mendorong mahasiswa untuk berbkarya menghasilkan produk yang sangat bermanfaat untuk masyarakat atau menjawab segala keresahan yang ada di masyarakat. Jadi kita melakukan penelitian bukan sekedar menyelesaikan tugas, ada laporan, namun saya lebih suka ada masalah apa di masyarakat, dan apa yang bisa kita lakukan bagi penelitian kita dan kembali lagi manfaatnya untuk masyarakat," ujarnya.