REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) berhasil mengembangkan aplikasi alat bantu pendengaran bagi tuna rungu. Keberhasilan aplikasi yang diberi nama Hearme tersebut, membuahkan dana hibah modal usaha sekitar Rp 250 juta dalam ajang Diplomat Chalenge 2019.
Aplikasi Hearme diprakarsai empat mahasiswa SBM-ITB yaitu Athalia Mutiara Laksmi, Safirah Nur Shabrina, Octiafani Isna Ariani dan Nadya Sahara putri sejak 2019 lalu.
Menurut Athalia Mutiara Laksmi, dengan aplikasi Hearme membuat semua orang bisa berkomunikasi memakai bahasa isyarat dengan tuna rungu. Begitu pun sebaliknya tuna rungu juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat luas.
Berangkat dari pengalaman mereka ketika memesan taksi online kemudian mendapati driver tuna runggu yang dibantu anaknya berkomunikasi dengan penumpang. Driver tersebut sering dianggap tidak sopan oleh penumpang karena pendengarannya kurang maksimal.
"Seringkali driver dirating rendah karena dinilai nggak sopan sama penumpang dan sering miss communication. Padahal di situ si penumpang nggak tahu kalau si driver tuli jadi sering susah komunikasi," ujar Athalia ketika ditemui di kampus SBM-ITB, Jl Ganesha, Kota Bandung, Selasa (26/11)
Berdasarkan pengalaman tersebut, kata dia, semua berpikir gimana caranya membuat mengatasi masalah itu. "Akhirnya kita sering brainstorming yang akhirnya menghasilkan Hear Me," katanya.
Athalia mengaku kurang percaya diri saat awal pendirian startup tersebut. Sebab, mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan IT tapi ingin mengembangkan bisnis digital.
Akhirnya, mereka pun memilih jenis startup digital technology, karena sesuai dengan perkembangan zaman era 4.0 dimana semua aktivitas didominasi oleh teknologi. Jadi, ingin menggunakan teknologi untuk menyelesaikan suatu masalah.
Terlebih, kata dia, dengan adanya teknologi juga semuanya bisa jadi praktis. Di samping itu, kini masyarakat juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiran teknologi dalam kehidupan mereka."Kita juga kuliah di SBM-ITB. Jadi kalau bisa bisnis kita berbasis IT," katanya
Athalia menilai memasuki society 5.0. berbagai jenis bisnis harus berdampak sosial terhadap masyarakat, maka dengan penerapan teknologi ini mereka akan menyediakan fasilitas yg ramah disabilitas sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masayarakat indonesia khususnya disabilitas.
"Kita juga disini perannya sociopreneur," katanya
Athalia pun membagikan kunci suksesnya meraih penghargaan dari ajang Diplomat Challenge 2019. Ia menuturkan berkat piawai, paham dan persona dalam mengembangkan startupnya mereke memukau dewan juri lewat presentasi depan publik dan dewan Komisioner.