REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Prof Dr Mahsun sepakat Bahasa Indonesia berpeluang menjadi bahasa resmi ASEAN. Dia menilai, kiprah UMM dalam upaya internasionalisasi bahasa Indonesia ini dipandang sebagai titik awal yang baik.
“Saya senang karena yang memelopori justru kampus berbasis Islam. Upaya UMM ini tentu akan sangat saya dukung,” ujarnya pembukaan Seminar Internasional Politik Bahasa Indonesia yang diadakan oleh Lembaga Kebudayaan (LK) UMM di ruang teater UMM Dome, Selasa (4/11).
Mahsun juga menekankan, agar bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa internasional maka bahasa ini harus menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Mahsun mencontohkan aksara latin Yunani yang saat ini menjadi aksara yang paling banyak dipakai dunia begitu cepat berkembang lantaran kuatnya peradaban Yunani dalam fondasi kefilsafatan dan ilmu pengetahuan.
Mahsun menyebutkan keunggulan Bahasa Indonesia dibanding Bahasa Melayu, khususnya dalam hal politik identitas. Menurutnya, bahasa Indonesia bisa menjadi pemersatu bangsa karena bahasa ini bukanlah bahasa dari etnis tertentu sehingga etnis manapun cenderung membuka diri untuk mempelajarinya. Hal itu berbeda dengan bahasa Melayu di Malaysia yang berbasis etnis tertentu sehingga etnis non-Melayu seperti Tionghoa dan India merasa enggan mempelajarinya dan cenderung mempertahankan bahasa etnisnya.
“Para founding fathers kita cerdas karena memilih bahasa baru sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, tidak justru mengambil dari etnis tertentu. Ini adalah politik identitas yang juga dilakukan banyak bangsa lain di dunia,” jelas Mahsun dalam siaran pers yang diterima ROL, Kamis (6/11).
Mahsun memisalkan politik identitas Israel dalam menggali kembali bahasa yang sudah hampir punah, yaitu bahasa Ibrani agar memiliki bahasa yang khas dan berbeda dengan bangsa lainnya. “Israel tidak menjadikan bahasa Arab, bahasa Ladino atau bahasa Yiddish sebagai bahasa utamanya sekalipun tiga bahasa itu telah dipakai oleh masyarakat, tapi mereka memilih menggali bahasa yang hampir punah demi menjaga identitas.”
Politik identitas juga terjadi pada bahasa resmi India dan Pakistan yang pada dasarnya berakar dari bahasa yang sama, yaitu bahasa klasik Sansekerta. Namun, kata Mahsun, demi memperkuat politik identitas masing-masing, India menamainya bahasa Hindi yang ditulis dengan alfabet Devanagari sementaranya Pakistan menamainya bahasa Urdu yang ditulis dengan alfabet Arab.