REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Pelajar Australia cenderung merasa bahagia saat menjalani aktivitas di sekolah. Menurut penulis buku Sekolah Nir Kekerasan, Muhammad Nur Rizal, pelajar di negeri kangguru selalu ingin kembali ke sekolah setiap hari.
“Mereka itu kalau libur satu dua hari pasti bosan, ingin segera sekolah lagi,” katanya pada Bedah Buku Sekolah Nir Kekerasan yang juga merupakan rangkaian kegiatan tabligh Akbar Akhir Tahun Republika 2016 di Masjid Syuhada Kota Baru Yogyakarta, Sabtu (30/12).
Bahkan Rizal sempat menemukan kejadian unik pada seorang anak asal Indonesia. Ketika masih di Jakarta, anak ini selalu sakit perut dan mual-mual saat akan pergi ke sekolah. Padahal ia sama sekali tidak mengalami gangguan kesehatan. Setelah diselidiki, ia rupanya mengalami tekanan di sekolah.
Namun ketika sang anak ikut pindah bersama orang tuanya ke Australia, ia jadi senang belajar di sekolah. Sehingga hampir setiap hari si anak menceritakan hal-hal baik di sekolahnya. Perasaan bahagia yang diperoleh sang anak rupanya datang dari program-program sekolah yang menyenangkan.
“Saat tinggal di Australia, kami pernah disurvei oleh pihak sekolah. Isi surveinya hanya tiga pertanyaan,” kata Rizal. Antara lain, apakah anak merasa senang saat berada di sekolah, apakah ada teman atau guru yang membuat anak merasa terganggu, dan apakah anak punya teman bermain di sekolah.
Hasil survei itu, kata Rizal, disampaikan pada Kementerian Pendidikan setempat, lalu dijadikan sebagai landasan kebijakan untuk mengembangkan program kegiatan di sekolah. Setidaknya ada beberapa hal yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di Australia.
Pertama, sekolah memberikan ruang yang seimbang untuk fisik dan emosi anak. Salah satunya terlihat dari suasana kelas, di mana bangku disusun melingkari ruangan. Sementara di tengah-tengah ruangan dibiarkan kosong. Sehingga anak memiliki ruang gerak yang luas.
Kedua, guru dan anak selalu diposisikan sebagai objek pendidikan. Mereka menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai. Adapun target sekolah di sana tidak pernah berbasis pada standar angka seperti di Indonesia.
Selain itu guru dan siswa juga membuat rule of conduct di kelas masing-masing, biasanya berupa aturan mengenai pelanggaran dan konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan. “Misalnya kalau ada anak yang memukul temannya, guru pasti memberhentikan pelajaran untuk berbicara pada anak tersebut. Lalu sang anak dikembalikan pada rule of conduct yang telah dibuat bersama,” kata Rizal.
Ketiga, guru selalu memberikan ruang pada anak untuk bereksplorasi. Keempat anak-anak diberikan kehidupan yang menantang. Salah satunya melalui sistem buddy atau teman baik antara siswa senior dan junior.
Biasanya satu siswa senior diberi tanggung jawab untuk menjaga satu orang juniornya. Mereka berkewajiban untuk mendampingi adik kelasnya selama di sekolah. Selain itu, di setiap sekolah pasti memiliki bangku pertemanan yang khusus dibuat untuk siswa yang membutuhkan teman.
“Jadi bagi siapa saja yang menemukan siswa duduk di bangku tersebut wajib menemaninya,” tutur Rizal. Menurutnya sistem pendidikan seperti ini mampu menekan angka kekerasan yang sering kali terjadi di sekolah.