REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai penghapusan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk syarat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi tahun ajaran 2019/2020 menjadi kebijakan yang aneh dan paradoks. Sebab di satu sisi, PPDB zonasi diperuntukkan untuk siswa kurang mampu, tetapi di sisi lain pemerintah malah menghapuskan syarat SKTM dalam PPDB.
Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim menjelaskan, seharusnya pemerintah memberikan pengawasan yang lebih ketat bukan langsung menghapuskan syarat SKTM dalam PPDB. "Mestinya harus ada pengawasan dan kontrol yang kuat dari pemerintah lintas instansi dalam mengeluarkan SKTM," ungkap Satriwan saat dihubungi Republika, Selasa (8/1).
Dia khawatir, kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghapus syarat SKTM dalam PPDB bakal merugikan siswa dan keluarga yang belum terdaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Karena pada kenyataanya, kata Satriwan, saat ini masih banyak siswa dan keluarga yang belum terdaftar kedua program tersebut.
"Ada laporannya, maka itu kami khawatir ada siswa yang sebenarnya miskin tapi belum terdata dan dapat KIP atau program PKH. Jika begitu, otomatis dia tak bisa sekolah di sekolah zonasinya dong?" kata Satriwan.
Karena itu, dia meminta, sebelum kebijakan ini diimplementasikan, pemerintah harus benar-benar mendata semua anak dan keluarga yang kurang mampu untuk mendapatkan program KIP dan PKH.
Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy memastikan, SKTM tidak akan berlaku lagi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020. Untuk afirmasi peserta didik yang kurang mampu, lanjut dia, cukup dari penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP), lalu bagi keluarga yang termasuk Program Keluarga Sejahtera (PKH) dan layanan sosial lainnya.