Jumat 28 Jun 2019 15:33 WIB

Formula Sistem Zonasi PPDB

PPDB di Provinsi Jabar cukup inovatif

Prof Dr Dinn Wahyudin MA, Guru Besar Bidang Pengembangan Kurikulum UPI.
Foto: Istimewa
Prof Dr Dinn Wahyudin MA, Guru Besar Bidang Pengembangan Kurikulum UPI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA.*)

Kita harus mengakui bahwa menyelesaikan satu persoalan di lingkup pendidikan adalah hal sulit. Butuh proses dan kesepakatan seluruh stakeholder, termasuk orang tua. Artinya, ada banyak kepala dengan kepentingan berbeda saat membahas satu persoalan. Untuk mencapai titik temu, diperlukan waktu panjang dan konsistensi.

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi salah satu bukti. Agenda tahunan tersebut selalu menyita tenaga, menguras pikiran, dan menimbulkan ketegangan, khususnya bagi orang tua calon peserta didik. Banyak orang tua calon peserta didik khawatir anaknya tidak mendapatkan pendidikan bermutu karena kebijakan zonasi yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kekhawatiran itu tergambar dari tidak meratanya pendaftar calon peserta didik. Dalam satu daerah, misalnya, beberapa sekolah menerima jumlah pendaftar calon peserta didik begitu luar biasa sedangkan sekolah lainnya tidak diminati. Situasi tersebut memang harus dibenahi karena mencederai semangat dari PPDB itu sendiri.

Akan tetapi, orang tua calon peserta didik jangan disalahkan. Kekhawatiran mereka terbilang wajar karena saat ini masyarakat sudah bisa melihat dan menilai sendiri apakah sekolah tertentu bermutu atau tidak. Hal itu tampak dari sarana prasarana ataupun kualitas guru.

Selain orang tua, guru juga mengalami kekhawatiran yang serupa. Dalam perspektif pedagogi, kualitas awal atau entry behavior siswa mesti diperhatikan. Maka itu, seleksi dilakukan agar gap entry behavior satu siswa dengan siswa lainnya tidak terpaut jauh.

Jika ada gap kualitas yang sangat lebar, proses belajar mengajar akan terkendala. Satu sisi, guru wajib memastikan siswa yang mempunyai pengalaman belajar minim pada tingkat sebelumnya mampu mengikuti proses belajar dengan baik. Di sisi lain, guru tidak boleh melupakan siswa yang memiliki pengalaman belajar apik. Kondisi itu membuat guru terdistraksi.

Pemerintah mau tidak mau harus mengakui bahwa masih ada ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia. Apalagi, sempat memelihara peningkatan mutu sekolah secara terpusat. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional adalah salah satu contohnya.

Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya mencari formula guna menunaikan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab IV, Pasal 5 ayat (1), bahwa setiap warga negara punya hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu, seperti dengan haknya. Zonasi dalam PPDB merupakan satu dari setumpuk kebijakan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan.

Sebagai langkah awal untuk menyelesaikan pertentangan kebijakan zonasi, pemerintah harus menyamaratakan sarana prasarana dan kapabilitas guru. Itu memang bukan hal mudah dan butuh proses panjang, tetapi pemerintah setidaknya sudah dapat memetakan wilayah mana saja yang mesti mendapatkan atensi khusus. Perlahan dan pasti, persoalan PPDB dengan sistem zonasi terselesaikan.

Persentase Zonasi

Selain itu, indikator keterimaan menjadi sumber masalah zonasi. Saat ini, indikator yang dominan adalah jarak domisili. Hal tersebut menuai protes karena banyak pihak yang merasa keberatan kenapa Nilai Hasil Ujian Nasional (NHUN) yang membutuhkan effort besar untuk mendapatkannya tidak memiliki persentase yang besar dalam PPDB.

Pada akhirnya, kebijakan zonasi yang mempunyai semangat luhur dicap negatif. Padahal, ada lima profit yang hadir manakala zonasi diterapkan dalam PPDB. Pertama, peningkatan kualitas output pendidikan yang merata. Siswa yang mempunyai pengalaman pendidikan minim harus pula menjadi manusia unggul dan siap menghadapi tantangan setelah melewati proses pendidikan.

Kemudian, aksestabilitas yang berkaitan dengan keterjangkauan. Jadi, semangat dari zonasi itu adalah mendekatkan sekolah kepada siswa. Calon peserta didik memiliki hak untuk mengakses sekolah-sekolah yang berada dekat dengan tempat tinggalnya.

Lalu, kid safety atau keselamatan anak. Jarak rumah ke sekolah yang dekat dapat meminimalisasi keselamatan anak baik secara fisik dan psikis. Fisik, anak tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mengakses pendidikan. Psikis, kemacetan bisa membuat anak stres dan kehilangan konsentrasi saat menjalani proses pembelajaran.

Profit keempat adalah melambungnya partisipasi orang tua dalam proses pendidikan. Dengan jarak yang dekat, orang tua dapat aktif melihat tumbuh kembang anaknya. Sisi positif zonasi yang terakhir berkaitan dengan lingkungan. Dalam hal ini, polusi udara bisa ditekan karena peserta didik tidak perlu menggunakan kendaraan untuk mencapai sekolah.

Untuk mengakomodir zonasi dan NHUN, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mesti menghitung ulang persentase pembagian jalur. Sebanyak 90 persen kuota sekolah hanya untuk jalur zonasi bukan langkah yang tepat. Alangkah baiknya, prestasi akademik siswa diperhatikan pula.

Ambil contoh inovasi yang diambil Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat. Dalam, Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 16 Tahun 2019 tentang pedoman PPDB pada Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB), Pemdaprov Jabar membagi 90 persen zonasi menjadi tiga jalur, yakni jalur zonasi murni, jalur kombinasi, dan jalur Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM).

Jalur zonasi murni mendapat persentase 55 persen. Jalur ini hanya menghitung jarak domisili ke sekolah sebagai indikator keterimaan. Jalur kombinasi mendapat persentase 15 persen. Indikator keterimaan dari jalur kombinasi ada dua, yakni 30 persen jarak domisili dan 70 persen NHUN.

Lalu, 2,5 persen kuota di setiap sekolah disediakan untuk calon peserta didik berprestasi di bidang akademik. Jika diakumulasikan, Pemdaprov Jabar menyediakan 17,5 persen untuk mengakomodir NHUN sebagai indikator keterimaan.

Apakah persentase tersebut sudah meredam pertentangan? Jika belum, maka persentase zonasi dalam PPDB mesti diatur kembali. Persentase zonasi yang ditetapkan sudah seharusnya dapat menjamin hak anak untuk mengakses sekolah yang berada di dekat domisili sekaligus mengakomodir siswa berprestasi di bidang akademik.

 

*) Guru Besar Bidang Pengembangan Kurikulum UPI

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement