Kamis 20 Jun 2013 12:00 WIB

Masih Ada Jilbabfobia

Muslimah menuntut hak berjilbab
Foto: cnn
Muslimah menuntut hak berjilbab

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nine Adien Maulana*

Pertanyaan tentang mengenakan jilbab untuk foto ijazah sering dikemukakan murid-murid kelas akhir yang akan melengkapi urusan administratif menjelang kelulusan mereka. Mereka bimbang, ragu, penuh dilema, bahkan takut. Sebenarnya, mereka ingin berfoto untuk ijazah dengan berjilbab, namun mereka takut atau ditakut-takuti.

Seharusnya, pertanyaan seperti itu tidak lagi muncul di negeri yang menjamin kebebasan menjalankan agama. Dalam masalah ini memang sering kali muncul ketakutan-ketakutan yang tidak sepatutnya terjadi. Entah karena takut sendiri atau sengaja ditakuti-takuti.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Nomor: 1177/C/PP/2002 tentang Pakaian Berjilbab dan Pasfoto yang ditandatangani oleh Indra Djati Sidi tanggal 11 Maret 2002 disebutkan bahwa siswa diperkenankan menggunakan pakaian seragam berjilbab untuk foto surat tanda tamat belajar (STTB), rapor, dan penerimaan siswa baru.  Bentuk dan rancangannya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dengan mengikutsertakan Komite Sekolah/BP3.

Begitu juga di perguruan tinggi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi telah mengeluarkan Surat Edaran No 1928/D/C/2002 perihal Pasfoto Berjilbab/Berkerudung. Dalam surat yang ditandatangani oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro tanggal 12 September 2002 disebutkan bahwa para mahasiswi diperbolehkan menggunakan foto dirinya yang berjilbab/berkerudung untuk kelengkapan administrasi akademik.

Inti dari dua surat edaran tersebut adalah tidak melarang siswi atau mahasiswi menggunakan pasfoto berjilbab untuk kegiatan akademik mereka. Dengan demikian, masih adanya larangan atau upaya menakut-nakuti mereka jika menggunakan foto berjilbab untuk segala urusan akademik mereka menjadi sangat tidak relevan, bahkan tampak terlalu mengada-ada.

Kecurigaan, ketakutan, bahkan kebencian kepada gerakan Islam dulu marak dikenal dengan istilah islamofobia. Meskipun zaman telah berlalu, salah satu ekspresi islamofobia yang saat ini ternyata masih ada adalah jilbabfobia, yaitu kecurigaan yang berlebihan kepada orang-orang yang memakai jilbab. Berbagai stigma negatif dilekatkan kepada mereka yang memilih mengenakan jilbab untuk foto ijazah dan urusan administratif lainnya.

Keresahan murid-murid saya ternyata mulai menular kepada para polisi wanita (polwan). Kini muncul dorongan yang kuat dari mereka untuk mengenakan pakaian seragam dinas yang mampu menutup aurat secara lebih sempurna. Apalagi, anggapan bahwa seragam berjilbab bagi para polwan itu mengganggu aktivitas ternyata tidak terbukti. Para polwan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memakai seragam berjilbab juga bisa menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka secara wajar dan lancar.

Peraturan Kepolisian Republik Indonesia tentang baju seragam dinas memang seharusnya mengakomodasi kebutuhan polwan muslimah dalam menjalankan ajaran agamanya. Jika hal ini tidak terpenuhi, tentu sangat bertentangan dengan konstitusi dan melanggar hak asasi manusia dalam beragama. Peraturan tersebut perlu direformasi dan disempurnakan.

Keresahan yang dirasakan oleh para murid dan polwan itu tidak mungkin muncul dari pribadi yang masih kosong nilai. Pasti ada internalisasi seperangkat nilai yang mereka pegangi erat-erat sebagai kebenaran. Pasti ada landasan iman yang kokoh yang melatarbelakanginya.

Nilai-nilai yang mereka pegang adalah batasan mahram dan aurat dalam relasi laki-laki dan perempuan yang didasarkan kepada kebenaran wahyu. Menutup aurat, apalagi di depan lain mahram, adalah perintah Allah SWT. Terbuka atau membuka aurat di hadapan lain mahramnya adalah sesuatu yang tercela. Itulah keyakinan mereka yang didasarkan pada ajaran agama Islam yang mereka imani. Inilah ekspresi keagamanan yang seharusnya dimiliki setiap umat Islam.

Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. Istilah ini sering disebut dengan tidak tepat makna, yaitu muhrim. Arti muhrim adalah orang yang sedang berihram untuk haji atau umrah. Sungguh sangat jauh beda keduanya, namun sayangnya seringkali digunakan secara salah kaprah.

Aurat berasal dari kata ‘aurah yang berarti: segala sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan malu apabila dilihat. Menurut istilah, aurat ialah anggota badan manusia yang wajib ditutupi, dan haram dilihat oleh orang lain, kecuali orang-orang yang disebutkan dalam surat QS an-Nur [24]:31.

Memang terdapat perbedaan pendapat ulama tentang batasan aurat bagi perempuan. Akan tetapi, mayoritas ulama berdasar dalil-dalil yang kuat berpendapat bahwa aurat Muslimah adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua pergelangan tangan.

Batasan inilah yang dipegangi oleh mayoritas Muslimah, sehingga busana yang menampakkan kepala, rambut, leher, dan dada tentu dinilai tidak sempurna. Oleh karena itu, tiada pilihan bagi bangsa yang berketuhanan dan menghormati hak asasi manusia, selain mengakomodasi kebutuhan kaum Muslimah dalam menutup aurat.

*Guru PAI SMP Negeri 1 Jombang

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement