REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Kebutuhan material bahan baku pembuat tulang (bioceramic) di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ini seiring semakin banyaknya kasus kerusakan jaringan tulang yang ada di dunia.
Bahkan, berdasarkan data kebutuhan bahan baku untuk pembuatan struktur tulang di bidang medis untuk seluruh dunia sekarang ini setara dengan 1625 ton/tahun dan di Indonesia sendiri diperkirakan kebutuhannya berkisar 10 ton/tahun.
Ketua tim riset Bioceramics Minifactory UGM, Dr Alva E.Tontowi, mengatakan, kebutuhan bahan baku pembuatan tulang di bidang medis di Indonesia tersebut dicukupi dari impor di beberapa negara antara lain, Jepang, Jerman, Amerika Serikat, dan Swiss. "Melihat kondisi itu, UGM berusaha mengembangkan produksi bahan baku bioceramics yang telah kamu buat di minipabrik kami di UGM," ujarnya di kampus UGM, Rabu (3/6).
Menurut Alva, minipabrik bioceramic UGM itu pun telah didirikan dan diresmikan operasionalnya sejak 26 Mei 2010 lalu. Saat ini minipabrik tersebut terus mengembangkan produksi bioceramics untuk kebutuhan medis di Indonesia. "Kami didukung oleh tim riset dari berbagai bidang keahlian yang cukup handal," terangnya.
Diakui Alva, kerusakan jaringan keras tubuh yang berupa kecacatan struktur tulang banyak terjadi di Indonesia. Ini belum bisa ditolong terutama karena harganya yang mahal dan persoalan bahan baku. UGM sendiri, kata dia, terus mengembangkan penelitian dan mengembangkan pembuatan bone substitute material seperti Hydroxyapatite (HA). HA digunakan karena tulang manusia dewasa mengandung sekitar 68 persen HA dan email gigi juga mengandung HA hingga 97 persen.
"Sejauh ini cara yang paling sering dilakukan dokter untuk menambal tulang yang kurang adalah dengan mengambil bagian tulang lain di tubuh pasien (autograph). Maka dengan tersedianya HA ini sintetik yang dibuat pabrik akan menjadi pilihan yang menjanjikan," tambahnya.
Harga masih relatif mahal
Menurut Alva, karena bahan baku pembuatan tulang tersebut masih dipasok dari luar negeri maka harganya masih relatif lebih mahal. Dia mencontohkan, produk HA impor dalam bentuk pasta kemasan 2 ml harganya sekitar Rp 1,25 juta, sedangkan dalam bentuk serbuk kemasan 500 g harganya hingga Rp 5 juta.
''Meskipun bahan baku HA tersedia di Indonesia, hingga saat ini belum ada pabrik yang berdiri,'' jelas Alva. Karenanya dengan minipabrik bioceramics yang didirikan UGM tersebut, diharapkan nantinya bisa menjadi inkubator pabrik medik UGM. Sehingga 20-30 tahun ke depan Indonesia akan menjadi salah satu pemain baru di industri kedokteran di Indonesia maupun dunia.
Pabrik mini UGM itu pun, kata Alva, masih terbatas produksinya. Kapasitas maksimal yang diproduksi memang masih kecil antara 1,2 ton/tahun. ''Atau hanya memenuhi 12 persen market share dari total kebutuhan 10 ton/tahun di Indonesia," jelasnya.
Bioceramics Minifactory yang berdiri di bekas bengkel UGM tersebut merupakan project riset dari Kementrian Riset dan Teknologi yang dirintis semanjak tahun 2009 lalu. Secara teknologi, HA sintetik yang diproduksi di sini menggunakan beberapa bahan alam baku semisal gysum (dari Kulon progo), calcite (dari Gunungkidul), serta tulang sapi dan material bahan alam lain yang berbasis Ca/P. Dengan harga produk yang relatif murah hingga 30-40 persen.