REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sosok KH Miftah Maulana Habiburrahman atau akrab disapa Gus Miftah kini banyak diperbincangkan. Di tengah pro dan kontra soal dakwahnya, banyak yang penasaran bagaimana Gus Miftah dapat berdakwah di 'dunia remang-remang'.
Untuk masyarakat DI Yogyakarta, khususnya Kabupaten Sleman, nama Gus Miftah sebenarnya sudah sangat akrab. Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji ini memang sudah malang melintang di dunia dakwah.
Namun, belakangan namanya banyak diperbincangkan usai videonya yang sedang berdakwah di salah satu klub malam di Bali viral di media sosial. Padahal, dakwah serupa sudah dijalani Gus Miftah selama 14 tahun lebih.
Di Yogyakarta, Gus Miftah memang rutin melakukan dakwah ke tempat-tempat yang selama ini dilabeli 'remang-remang'. Mulai dari kafe-kafe, salon-salon, bar-bar sampai tempat-tempat lokalisasi.
Sosok almarhum Hamim Tohari Djazuli atau akrab disapa Gus Miek, diakui Gus Miftah menjadi salah satu inspirasinya. Gus Miek sendiri merupakan seorang yang cukup eksentrik di kalangan kiai-kiai NU.
Tidak cuma di kalangan pemuka agama, sosok dari Pondok Pesantren Ploso Kediri itu terkenal pula di kalangan seniman, preman, bahkan bandar-bandar judi. Pasalnya, dakwahnya dikenal terbuka dan tidak pilih-pilih.
Seirama, Gus Miftah merasa, Islam tidak cuma milik orang-orang tertentu. Islam milik semua umat manusia, dan justru kewajiban pemuka-pemuka agama untuk bisa menebarkannya bagi siapa saja.
//Rahmatan lil alamin atau rahmat bagi alam semesta, tampak benar-benar dipegang Gus Miftah dalam berdakwah. Karenanya, ia tidak memakai sekat-sekat, serta kotak-kotak dalam menyampaikan dakwahnya. "Karena mereka (yang ada di dunia remang-remang, Red) juga butuh, butuh kenal //karo (dengan, Red) Gusti Allah," kata Gus Miftah kepada Republika.co.id, Jumat (14/9).
Banyak mendapat pujian atas dakwahnya yang mampu menembus dinding-dinding duniawi, Gus Miftah justru mengangkat topi untuk para pengelola tempat usaha remang-remang tempatnya berdakwah tersebut. Pasalnya, tidak sedikit pengelola-pengelola itu yang ketika mengenal lebih dekat, ternyata bukan beragama Islam. Tapi, toleransi yang begitu tinggi membuat mereka mengizinkan Gus Miftah berdakwah.
"Bagi saya yang luar biasa pengelola-pengelola tempat seperti itu, karena tempat-teman saya yang saya kontak untuk bisa masuk itu, teman-teman pengelola dan rata-rata beda agama. Bagi saya yang luar biasa mereka," ujar Gus Miftah.
Keterbukaan, jadi salah satu kunci bagaimana Gus Miftah bisa diizinkan memberi dakwah ke dunia remang-remang. Keterbukaan pula, jadi kunci bagaimana dakwah yang diberikannya bisa sampai ke pekerja remang-remang.
Dari sana, nilai-nilai Pancasila turut terpancar. Bagaimana Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, bisa benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak cuma itu, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, benar-benar jadi gambaran nyata. "Ini beda agama, beda ras, tapi ternyata kita //ndak ada masalah," kata Gus Miftah.
Karenanya, hijrahnya para pekerja dari sejumlah tempat usaha remang-remang tidak membuat hubungan Gus Miftah dengan para pengelola itu rusak. Melalui komunikasi yang baik, hubungan itu terus terjaga hingga kini.