REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pemerintah Israel telah setuju untuk menampung 1.000 Yahudi asal Ethiopia. Jumlah tersebut terbilang kecil bila dibandingkan dengan warga Yahudi Afrika yang ingin mendapat izin menetap di Israel.
Dilaporkan laman Al Araby, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, pada Senin (17/9), mengatakan, sebuah komite khusus telah setuju untuk mengizinkan anggota masyarakat yang memiliki keturunan di Israel bermigrasi ke negara tersebut. Izin itu termasuk untuk orang-orang Yahudi asal Afrika.
Kendati demikian, keputusan Israel mengizinkan 1.000 orang Yahudi Ethiopia memasuki negara tersebut menuai kritik. Juru bicara komunitas Ethiopia Israel Alisa Bodner mengaku kecewa dengan keputusan itu. Sebab, menurutnya terdapat sekitar 8.000 Yahudi Afrika yang ingin menetap di Israel. Dengan demikian, masih terdapat 7.000 Yahudi Afrika yang nasibnya masih belum jelas.
Sebanyak 8.000 Yahudi Afrika memiliki keluarga di Israel. Tapi Israel tidak menganggap mereka sebagai Yahudi di bawah hukum agama yang ketat. Itu berarti proses imigrasi mereka memerlukan persetujuan khusus. Padahal, Undang-Undang Pengembalian Israel yang disahkan pada 1950 memberi hak kepada semua Yahudi di dunia untuk menetap di negara tersebut.
Adapun orang Yahudi Ethiopia telah lama dikenal mengalami diskriminasi yang luas di Israel. Kebijakan rasis seperti memaksa perempuan Ethiopia disuntik dengan obat pencegah kehamilan, menghancurkan darah yang disumbangkan orang-orang Ethiopia, dan perlakuan brutal oleh aparat keamanan. Hal itu telah terjadi selama bertahun-tahun dan baru-baru ini dipublikasikan.
Sementara itu, Israel telah menuai kritik serta kecaman internasional atas kebijakan pembangunan permukiman Yahudi di tanah Palestina yang diduduki, termasuk di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Pembangunan permukiman tersebut dinilai ilegal karena melanggar hukum internasional. Selain itu, pembangunan permukiman Yahudi ilegal dianggap menjadi hambatan terbesar dalam penyelesaikan konflik Palestina-Israel.