Rabu 19 Sep 2018 01:59 WIB

Ini Alternatif Atasi Defisit BPJS Kesehatan

Menaikan iuran JKN-KIS sesuai hitungan aktuaria jadi salah satu solusi.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Gita Amanda
Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/9).
Foto: Republika/Prayogi
Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch menyebutkan beberapa alternatif mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Termasuk menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sesuai hitungan aktuaria hingga memaksimalkan perolehan pajak rokok dari daerah.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, ada beberapa opsi mengatasi defisit yang dialami lembaga yang dulunya bernama Asuransi Kesehatan itu.

"Pertama adalah kenaikan iuran karena premi itu yang membiayai pembiayaan kesehatan BPJS Kesehatan. Iuran harus tetap diperbarui dan ditinjau karena inflasi yang terus meningkat dan Indonesian Case Based Groups (INA CBGs)," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/9).

Bahkan, dia melanjutkan, pemerintah sudah mengakui pembaruan iuran JKN-KIS dengan adanya peraturan presiden (perpres) nomor 111 tahun 2013 pasal 16 i yang mengamanatkan peninjauan iuran JKN-KIS semua kelas, baik penerima bantuan iuran (PBI), mandiri, pegawai negeri sipil (PNS), hingga pekerja penerima upah perusahaan swasta maksimal dua tahun sekali.

Jadi, ia menambahkan sudah ada dasar hukum yang mengamanatkan iuran BPJS Kesehatan diperbarui dua tahun sekali untuk mengikuti perkembangan INA CBGs. Ia menyebut beradasarkan hitungan aktuaria, premi kelas III BPJS Kesehatan harusnya Rp 36 ribu per jiwa setiap bulannya.

Opsi kedua, dia menambahkan, pajak rokok yang menjadi bauran kebijakan pemerintah bisa menjadi pilihan. Ia meminta pemerintah segera menyelesaikan dan menandatangani pengganti perpres no 19. Sebab, di draft aturan di pasal 98, 99, 100 itu telah dinyatakan dari 50 persen dari pajak rokok yang masuk ke pemerintah daerah (pemda), 75 persen di antaranya wajib dialokasikan ke BPJS Kesehatan.

Di satu sisi, ia juga meminta pemerintah, Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, hingga Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) memperhatikan pengawasan fasilitas kesehatan (faskes) karena defisit membengkak akibat kecurangan INA CBGs. Ia menyontohkan, pasien peserta JKN-KIS belum waktunya pulang sudah diminta pulang ke rumahnya tetapi sepekan kemudian disuruh masuk kembali ke faskes yang sama. Artinya, kata dia, satu pasien bisa disembuhkan dua hingga tiga kali INA CBGs.

"(Pengawasan) itu juga harus jadi fokus pemerintah, karena meski iuran banyak tetapi INA CBGs membengkak ya tetap akan terjadi defisit . Jangan lagi ada fraud (kecurangan)," ujarnya.

Selain itu, ia juga meminta BPJS Kesehatan mengurangi rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Ia menyebut kalau dilihat data laporan menyebutkan rata-rata rujukan nasional 12,5 persen selama 2017 tetapi ketika awal tahun 2018 hingga pertengahan Mei kemarin, tingkat rujukan sudah 15 persen. Artinya, dia menambahkan, rujukan ke FKTL meningkat dan itu menciptakan INA CBGs.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement