REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan sedotan plastik sekali pakai di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Di tengah keprihatinan terhadap masalah limbah plastik yang kian mengancam bumi dan perairan global, upaya untuk mengurangi penggunaan benda plastik yang satu ini semakin gencar dilakukan, termasuk juga di Indonesia.
Data yang dikumpulkan oleh Divers Clean Action memperkirakan pemakaian sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93.244.847 batang. Sedotan itu berasal dari restoran, minuman kemasan, dan sumber lainnya (packed straw).
Jika jumlah tersebut direntangkan akan mencapai jarak 16.784 km atau sama dengan jarak tempuh Jakarta ke kota Meksiko. Dan dalam seminggu pemakaian sedotan itu setara dengan jarak tiga kali keliling bumi.
Swietenia Puspa Lestari, founder Divers Clean Action mengatakan data mencengangkan ini melandasi peluncuran gerakan #No Straw Movement mereka pada 2017 lalu. Hal itu sebagai respons menyikapi banyaknya sampah sedotan plastik yang mengotori perairan dan pantai di Indonesia.
"Tahun 2015-2016 itu sudah banyak yang peduli soal limbah plastik dari kantong kresek atau botol air minum dalam kemasan, ada gerakan ini itu, tapi saya lihat untuk limbah sedotan plastik yang bikin kami para pecinta pantai dan diving sangat risih itu belum ada. Padahal sampah sedotan plastik di mana-mana," tuturnya.
Gerakan itu mengajak warga dan pelaku industri peduli dengan dampak sedotan plastik sekali pakai terhadap lingkungan. Lantaran benda yang hanya mereka gunakan sesaat itu perlu waktu bertahun-tahun untuk terurai.
Remahan plastik atau mikroplastik dari sedotan yang masuk ke lautan akan dimakan binatang laut yang akhirnya akan dikonsumsi manusia.
"Semua bisa terlibat karena caranya sesederhana bilang ‘Saya tidak mau pakai sedotan plastik’. Sama seperti bilang saya gak pakai sambal atau yang lain. Alternatifnya mereka bisa pakai sedotan pakai ulang atau cara tradisional langsung saja minum dari gelas," tegasnya.
Gerakan ini juga mengajak para pelaku industri untuk peduli dengan dampak lingkungan dari sedotan plastik dengan tidak lagi menyediakan sedotan plastik. Jika di awal, gerakan ini hanya berhasil menggandeng satu perusahaan waralaba makanan cepat saji terbesar di Indonesia untuk berkomitmen tidak menyediakan lagi sedotan plastik di jaringan gerai mereka, saat ini sudah ada 4 perusahaan multinasional lain yang ikut bergabung disamping pemilik usaha kecil dan menengah lokal yang mereka edukasi di sejumlah tempat.
Ibarat virus yang terus menyebar, gerakan anti-sedotan plastik ini terus meluas dan kini semakin banyak café atau rumah makan yang mengikuti inisiatif tersebut. Seperti yang dilakukan Maraca Café di Kota Hujan, Bogor, yang sejak tiga bulan terakhir tidak lagi menyediakan sedotan plastik di café mereka yang teduh di Jalan Jalak Harupat, Bogor.
Risya Nuria Ikhsyania, pemilik café mengatakan ini merupakan langkah sederhana yang bisa dilakukannya sebagai pelaku usaha dalam menyikapi temuan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia.
"Orang mikirnya saya cuma pakai 1 sedotan, itu sedikit. Tapi kami sebagai pelaku industri tahu berapa banyak sedotan yang kami gunakan. Sebelumnya Café saya seminggu itu bisa pakai lebih dari 1000 sedotan. Saya berpikir, berapa ribu sampah sedotan plastik yang sudah kami hasilkan sejak café ini buka," tuturnya.
Meski beberapa konsumennya sempat mengeluh tidak disediakan sedotan, namun Risya mengaku sejauh ini omsetnya tidak berkurang. Bahkan tidak sedikit yang mengapresiasi kebijakan tanpa sedotan plastik mereka datang berkunjung.
"Sejak awal kami sudah bilang ke customer, kalau café kami tidak menyediakan sedotan plastik. Dan jika ingin menggunakan sedotan mereka bisa membeli sedotan pakai ulang yang dijual di café kami," ujarnya.
Sementara itu, di ibu kota, fashion desainer batik orisinil Helena Dewi Kirana juga menggagas gerakan Jakarta Tanpa Sedotan. Gerakan bertujuan menjadikan perilaku tidak menggunakan sedotan plastik sekali pakai sebagai tren gaya hidup baru di masyarakat.
"Kebayang gak kalau semua penduduk Jakarta yang suka nongkrong di café itu tidak lagi pakai sedotan, dalam satu hari let’s say ada sejuta orang ke cafe, udah sejuta sedotan berkurang dalam sehari, seminggu udah 7 juta sedotan jadi sangat signifikan."
Memanfaatkan jaringannya yang luas di media sosial dan ketokohannnya di dunia mode, Helen menggandeng produsen lokal untuk menjadikan sedotan pakai ulang sebagai bagian dari gaya hidup baru yang trendi.
"Saya berdayakan komunitas ibu-ibu binaan saya di Purwakarta untuk membuat wadah sedotan pakai ulang yang cantik dari sisa kain produk fashion NES. Jadi kalau mereka nongkrong bawa sedotan gak perlu repot dan tetap bisa tampil trendi dengan wadah sedotan pakai ulang yang cantik," tambahnya.
Sedotan pakai ulang lokal yang mengglobal
Saat ini tersedia banyak produk alternatif pengganti sedotan plastic sekali pakai. Mulai dari sedotan stainless steel, bambu, kaca hingga bioplastic. Dan beberapa di antara sedotan ramah lingkungan itu diproduksi di dalam negeri.
1. Sedotan dari pati jagung
Sedotan dari pati jagung ini diproduksi oleh perusahaan kemasan makanan dan minuman bioplastik yang berlokasi di Bali dengan merek dagang Avani Eco. Sekilas sedotan ini memiliki penampilan bening yang sangat mirip dengan sedotan plastik.
Karena itu untuk membedakan produk mereka, produsen sedotan ini memberi label #i'm not plastic pada batang sedotan mereka.
Pemilik dan pendiri Avani, Kevin Kumala mengatakan jika sedotan plastik biasa butuh waktu 40-60 tahun untuk dapat terurai di alam, sedotan avani hanya butuh waktu 180 hari untuk hancur terurai. Bahan utama berupa sari pati jagung juga memberi nilai tambah yang tidak ditawarkan produk bioplastik sebelumnya.
"Karena terbuat dari sari pati jagung, sedotan kami setelah terurai dia bisa menjadi kompos dan produk kami juga telah lulus uji oral toxicity sehingga aman jika dikonsumsi hewan laut," kata pria berusia 34 tahun tersebut.
Selain sedotan dari pati jagung, Avani juga memproduksi sedotan dari kertas dan sekitar 36 jenis produk kemasan makanan dan minuman yang sebelumnya terbuat dari plastik dan Styrofoam.
Mulai dari boks makanan, cup untuk kopi atau minuman lain, kantong kresek, polybag hingga jas hujan dan lainnya. Semua diproduksi dari bahan alami.
"Produk kami menggunakan 3 bahan utama, yakni sari pati singkong untuk menggantikan kantong plastik, ampas tebu untuk pengganti styrofoam atau wadah makanan lain dan untuk sedotan kita menggunakan sari pati jagung."
Kevin mengatakan 70-80 persen produk sedotan Avani masih diserap oleh kliennya dari sektor horeka dan ritel yang berada di Pulau Dewata dan selebihnya baru di kota-kota besar seperti Jakarta.
Namun produk-produk bioplastic Avani lainnya kian diminati konsumen di luar negeri. Sehingga kini Avani memiliki distributor resmi di sejumlah negara mulai dari Timur Tengah, Singapura, Sri Lanka, hingga Afrika.
2. Sedotan kaca standar laboratorium
Keinginan kuat untuk mengajak masyarakat luas peduli dengan lingkungan terutama limbah sedotan plastik, mendorong Dokter Kulit dan Kecantikan, Amaranila Lalita Drijono merancang sendiri sedotan pakai ulang dari bahan kaca pertama buatan Indonesia yang memiliki standard alat Lab Kedokteran.
"Saya meminta rekan saya yang biasa memproduksi alat-alat kedokteran dan laboratorium untuk membuat sedotan dari bahan kaca. Awalnya mereka ketawa, buat apa sih bu alat begini, saya sendiri yang ajari, mulai dari ukuran sampai tingkat ketebalan," ungkapnya.
Amaranila memilih membuat sedotan pakai ulang -yang diberi merek Mata Cinta - dari bahan kaca karena dinilainya lebih higienis dan tahan lama. Sedotan itu dipasarkan sepasang dengan sikat bulu sebagai alat pembersih sedotan.
"Karena terbuat dari kaca, jadi bisa terlihat apakah bersih atau kotor bagian dalamnya, dan saya juga merancang sikat pembersihnya agar benar-benar pas sehingga bisa membersihkan secara sempurna," ujarnya lagi.
Dr Amaranila mengatakan, belakangan demi memenuhi keinginan segmen pelanggan yang benar-benar peduli lingkungan dan prihatin dengan limbah plastik. Ia juga membuat sikat untuk sedotannya dari bahan alami berupa bulu sapi atau bulu kuda.
Animo pembeli sedotan pakai ulang kaca karyanya juga semakin meningkat. Jika ketika pada awal memproduksi sedotan kaca tahun 2016 lalu, ia hanya membuat 100 buah sedotan karena hanya untuk kalangan terbatas saja, kini dalam sebulan ia mengaku bisa melayani lebih dari 1.000 pesanan.
3. Sedotan bambu buluh
Griya Luhu, komunitas peduli lingkungan di Gianyar, Bali saat ini menjadi salah satu komunitas yang memproduksi sedotan pakai ulang dari bambu. Mereka memilih menggunakan bambu buluh yang berdiameter kecil sebagai bahan utama sedotan mereka.
"Sedotan bambu buluh jika dirawati dengan baik, artinya dibersihkan dengan sikatnya dan dikeringkan itu minimum bisa bertahan 3 bulan atau maksimal 6 bulan." kata pendiri Griya Luhu, Mandhara Brasika.
Pria yang akrab disapa Nara itu menurutkan, awalnya sedotan bambu yang mereka buat hanya ditujukan sebagai barang souvenir dalam kegiatan mereka. Namun sejak setahun terakhir sedotan tersebut banyak diminati pengelola hotel dan restoran di Pulau Dewata dan sejumlah kota lainnya.
"Karena Bali daerah wisata dan banyak tamu yang datang itu bule, mereka sudah paham bahaya limbah sedotan plastik dan sering menolak atau meminta sedotan pakai ulang. Jadi ketika tahu ada sedotan bambu pemilik dan pengelola hotel banyak memesan baik untuk digunakan di tempat mereka maupun untuk souvenir," tuturnya.
Bahan baku yang melimpah dan proses pembuatan yang sederhana membuat harga sedotan dari bambu buluh lebih terjangkau bagi pemilik hotel dan rumah makan lokal. Hal itu ketimbang mereka menyediakan sedotan pakai ulang dari steinless steel atau kaca untuk memenuhi tuntutan tamu mereka.
Walhasil dalam waktu tidak terlalu lama, Griya luhu juga mulai kebanjiran pesanan. Bermula dari hanya 100 buah sedotan saja, kini menurut Mandara komunitasnya bisa memproduksi lebih dari 1.000 – 2.000 buah sedotan bambu setiap bulan.
"Kita berharap pemerintah turun tangan dengan menghentikan penuh distribusi sedotan plastik sekali pakai."
"Itu solusi yang lebih mudah dan polusi limbah plastik di perairan sudah sangat mendesak untuk disikapi. Apalagi sekarang sudah banyak alternatif yang bisa dipilih warga." katanya.