Rabu 19 Sep 2018 17:14 WIB

Memahami Tawakal

Tawakal adalah sesuatu yang proses awalnya dimulai dengan sebuah ikhtiar.

Menyikapi musibah dengan tawakal.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
Menyikapi musibah dengan tawakal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tawakal adalah sesuatu yang proses awalnya dimulai dengan sebuah ikhtiar. Tak sebatas ikhtiar biasa, namun sebenar-benarnya ikhtiar.

Jika tawakal telah melalui proses yang benar, maka tawakal akan memiliki fadilah sebagai sebab diturunkannya rezeki. Para ulama telah menjelaskan makna tawakal secara jelas.

Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali. Ia berkata , "Tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata". (Ihya' Ulumid Din, 4/259)

Sementara Al-Allamah Al-Manawi dalam Faidhul Qadir berpendapat jika tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakali.

Berkomentar soal tawakal, Al-Mulla Ali Al-Qari berkata,"Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah". (Murqatul Mafatih, 9/156)

Jika orang beriman melakukan tawakal dengan sebenar-benar tawakal maka ia akan menjadi jalan bagi terbukanya pintu rezeki. Dalam sebuah hadis dari Umar bin Khattab RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kita lihat tawakal erat kaitannya dengan kayakinan yang utuh dan sangat kuat hanya kepada Allah SWT. Tidak ada yang bisa menggaransi burung yang terbang pagi hari jika ia pasti akan mendapatkan rezeki kecuali hanya Allah saja. Maka ia keluar dari sarangnya tanpa perasaan khawatir dan pulang dalam keadaan kenyang.

Keyakinan tinggi ini tidak boleh dilepaskan dari sikap tawakal. Jadi tawakal bukanlah penyerahan diri tanpa disertai apapun. Tawakal adalah keyakinan kuat itu sendiri. Allah SWT berjanji barangsiapa yang bertawakal dengan sungguh-sungguh, Ia akan mencukupi segala kebutuhannya.

Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS ath-Thalaq [65] : 3)

Ayat di atas jangan sampai dipahami secara terbalik. Jika Allah SWT sudah menjamin dengan tawakal manusia akan diberikan kecukupan, lalu apa gunanya berkerja dan usaha?

Imam Ahmad memberikan sifat orang-orang yang seperti itu sebagai orang yang tidak mengenal ilmu. Dalam hadis yang mengumpamakan tawakal manusia sebagaimana tawakalnya seekor burung, justru termaktub jelas tentang ikhtiar.

Burung tersebut bukan tinggal di sarang dan tidak melakukan apa-apa. Namun ia melakukan usaha, dengan cara keluar dari sarang pada pagi harinya dan pulang pada sore harinya.

Tawakal adalah keyakinan saat berangkat menuju pekerjaan. Bahwa Allah pasti akan mencukupkan rezekinya. Sehingga dia tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun. Lalu ia bekerja dengan kondisi yang nyaman dan optimal. Oleh karenanya rezeki yang Allah jaminkan tadi akan datang dengan deras.

Imam Ahmad juga pernah berkata, "Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita" (Fathul Bari, 11/305-306).

Jelaslah sudah jika tawakal bukanlah meninggalkan usaha. Imam Abul Qasim al-Qusyairi dalam Murqatul Mafatih berpendapat jika tawakal itu letaknya di dalam hati. Sementara gerak secara lahiriah tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdirNya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.

Soal tawakal dan usaha, mungkin hadis berikut ini cukup jelas memberikan gambarannya.  Amr bin Umayah RA berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal ? 'Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu bertawakallah". (Musnad Asy-Syihab).

sumber : Dialog Jumat Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement