Rabu 19 Sep 2018 23:11 WIB

Bencana Alam Perberat Beban Utang Warga Jepang

Korban bencana Jepang banyak yang terlilit utang.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Foto udara area longsor akibat gempa di Kota Atsuma, Hokkaido, Jepang Selatan, Jumat (7/9). Gempa yang mengguncang bagian paling utara Pulau Hokkaido ini menimbulkan belasan korban jiwa.
Foto: Tsuyoshi Ueda/Kyodo News via AP
Foto udara area longsor akibat gempa di Kota Atsuma, Hokkaido, Jepang Selatan, Jumat (7/9). Gempa yang mengguncang bagian paling utara Pulau Hokkaido ini menimbulkan belasan korban jiwa.

REPUBLIKA.CO.ID, SAPPORO -- Upaya pemulihan dan rekonstruksi pasca-bencana butuh waktu bertahun-tahun dan memakan banyak biaya. Tidak terkecuali gempa bumi berkekuatan 6,7 skala richter di utara Jepang yang terjadi pada 6 September lalu. Prefektur Atsuka, Provinsi Haikkodo salah satu wilayah yang terdampak gempa bumi tersebut. 

Wali Kota Atsuma, Shoichiro Miyasaka mengatakan setidaknya dibutuhkan beberapa puluh miliar yen untuk memperbaiki jalan dan ladang di wilayahnya. Gempa bumi tersebut membuat ratusan rumah terkena longsor. Karena bencana alam tersebut sekitar 36 sampai 41 orang dilaporkan meninggal dunia di Atsuka.

Sebanyak 879 dari 4.600 penduduk dievakuasi dari rumah mereka sejak tanggal 11 September lalu. Setidaknya ada 73 gedung rata dengan tanah dan 147 orang terluka, kebanyakan karena tanah longsor yang dipicu oleh gempa bumi. Meski menyadari proses pemulihan dan rekonstrusi memakan banyak biaya tapi Miyasaka bersikeras memastikan pemulihan berjalan dengan baik.

"Orang-orang yang meninggal telah bekerja keras membangun komunitas ini, memastikan pemulihan sepenuhnya berjalan sukses adalah cara untuk menghormati mereka," kata Miyasaka, seperti dilansir dari Kyodo News, Rabu (19/9).

Gempa di Hokkaido hanya salah satu dari sekian banyak bencana alam yang Jepang alami pada tahun ini. Pada bulan Juni lalu gempa bumi juga menewaskan lima orang di Osaka. Bencana tersebut disusul dengan hujan deras yang menyebabkan 200 orang meninggal dunia pada bulan Juli lalu.

Badai Jebi juga menghantam Jepang dan menyebabkan bandara internasional di Osaka di tutup selama dua hari. Masih di bulan September resiko bencana alam yang membutuhkan biaya besar belum dipastikan selesai tahun ini. Pemerintah pusat memiliki dana cadangan untuk bencana alam yang memastikan 47 wilayah Jepang memiliki dana yang dapat disalurkan kepada warga yang rumahnya hancur karena bencana alam.

Tapi ada kekhawatiran dana tersebut akan habis jika bencana alam skala besar masih terus terjadi. Hal itu karena beberapa ilmuwan mengatakan bencana-bencana alam yang terjadi di Jepang disebabkan oleh pemanasan global akibat ulah manusia.

Melalui investasi dana cadangan untuk bencana alam milik Pemerintah Jepang itu seharusnya bisa dikelola dan tumbuh. Tapi dana tersebut kian menipis karena urusan-urusan yang mendesak pada beberapa tahun terakhir. Membuat dana sebesar 100 miliar yen pada tahun 2011 menyusut menjadi 48,2 miliar yen pada akhir tahun 2017.

Pada Juli lalu para gubernur di Jepang sepakat untuk berkontribusi menyumbang sekitar 40 miliar yen ke dana cadangan tersebut. Tapi hujan deras dan bencana alam lainnya yang baru-baru ini terjadi diperkirakan akan berdampak pada neraca keseimbangan dana itu.

Industri asuransi Jepang pun sudah menyadari risiko yang disebabkan oleh bencana alam. Terutama perubahan iklim yang menyebabkan semakin besarnya skala dan semakin seringnya badai dan bencana-bencana alam lainnya terjadi. Para pemegang polis asuransi pun sering mengklaim asuransi mereka atas bencana alam. Perusahan-perusahaan asuransi menginvestasikan aset mereka yang dapat meraih untung jika terkena bencana alam.

Asset Owners Disclosure Project (AODP), sebuah organisasi internasional yang meneliti asuransi yang diberikan negara kepada rakyatnya kerena Pemanasan Global pada bulan Mei lalu mengeluarkan laporan tentang industri asuransi bencana alam di Jepang. Dalam laporan tersebut AODP mengungkapkan perusahaan-perusahaan asuransi Jepang semakin transparan tentang risiko yang disebabkan oleh perubahaan iklim.

Peningkatan transparansi risiko ini kemungkinan didorong oleh Dana Investasi Pensiunan Pemerintah yang memasukan faktor lingkungan dan sosial kedalam investasi mereka. Kebijakan itu memang cukup membantu tapi masih banyak warga yang menjadi korban bencana alam terlilit hutang.    

Korban gempa bumi di Kobe 1995 dan tsunami 2011 masih memiliki hutang yang mereka gunakan untuk memperbaiki rumah mereka yang rusak. Setelah tujuh setengah tahun setelah tsunami tahun 2011 masih banyak warga yang meminjam uang dari pemerintah gagal melunasi hutang mereka. Ada sekitar 400 juta yen lagi yang belum dilunasi.

Pemerintah Jepang saat itu memberikan pinjaman sebesar 3,5 juta yen ke 26.400 rumah tangga. Total pinjaman pemerintah Jepang kala itu mencapai 46 miliar yen. Pemerintah Jepang meminta para korban bencana alam tersebut untuk melunasi utang mereka selama 13 tahun.

Sekitar 30 persen atau 7.500 keluarga sudah berhasil melunasi utang mereka. Tapi 3.460 keluarga lainnya dinyatakan tidak mampu melunasi hutang tersebut. Banyak alasan mengapa para warga gagal membayar hutang.

Salah satunya karena mereka berganti pekerjaan setelah bencana terjadi, sementara yang lainnya sudah memasuki masa pensiun sehingga mereka tidak memiliki pemasukan selain uang pensiunan mereka. Artinya mereka tidak mampu menyisihkan uang untuk membayar hutang.

"Punggung saya sakit dan saya bekerja keras, tapi saya tidak akan bisa membayar hutang saya kecuali saya bekerja," kata salah seorang warga yang sudah berusia 70 tahun di Miyagi.

Warga tersebut bekerja sebagai koki di asrama Universitas di Sendai. Ia mendapatkan 880 yen per jam yang artinya 80.000 yen per bulan. Bahkan jika digabungkan dengan uang pensiunannya dia hanya dapat mendapatkan pemasukan sebesar 160.000 yen pern bulan. Ia hanya dapat sedikit menyisihkan uang untuk makan dan sewa rumah.

Melihat hal ini maka ia tidak akan dapat membayar utang sebesar 110 ribu pada bulan Desember nanti. Warga tersebut berharap pemerintah dapat memperpanjang waktu jatuh tempo utangnya. Di sisi lain dalam Undang-undang Jepang seseorang hanya bisa berkerja sampai umur 75 tahun.

"Saya dapat masalah jika sudah jatuh tempo, tapi saya ingin berusaha untuk membayar utang saya selama saya masih hidup," kata warga tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement