REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai ada tiga faktor yang memengaruhi tindakan brutal pendukung Persib kepada suporter Persija di kawasan Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Ahad (23/9). Tiga faktor itu di antaranya adalah biologi, psikologi, dan sosial.
Ia menjelaskan, secara biologis meleburkan diri dalam kerumunan massa untuk mendukung kesebelasan sepak bola akan memicu adrenalin. Adrenalin, lanjut dia, memicu emosi dan semangat yang tinggi. Namun, jika tak terkendali, akan timbul keganasan ketika ada provokasi.
"Karena ketika bertemu dengan psikologi massa, ketika dalam keumunan, individu akan menjadi anggota kerumunan. Dia sudah menjadi orang lain, orang yang berbeda. Itu yang membuat dia bisa tidak rasional lagi," kata dia ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (25/9).
Devie melanjutkan, sebagai individu seseorang bisa dikenal dengan identitas masing-masing. Dengan begitu, seorang individu tidak mungkin berani melakukan hal yang keji dan bengis.
"Namun dalam psikologi massa, ada adrenalin yang meningkat, ditambah provokasi, bisa terjadi apa yang kita lihat, brutalisme," kata dia.
Kedua, secara psikologis suporter menganggap diri mereka sebagai pemain ke-12 sebuah klub sepak bola. Karena itu, suporter merasa dirinya sangat penting dalam pertandingan.
Terkahir, lanjut Devie, secara sosiologis suporter bukan hanya mewakili kesebelasan, tapi juga mewakili wilayah. Menurut dia, pertandingan sepak bola bukan hanya perkara dua kesebelasan. Lebih dari itu, pertandingan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, hingga politik wilayah itu.
"Ada sense of territory, perasaan untuk melindungi wilayah menjadi sesuatu yang sangat emosional. Ada ketegangan regional, seperti ketegangan politik di Barcelona dan bahkan, di Irlandia ketegangan antaragama," kata dia.
Devie menegaskan, salah satu upaya untuk mengikis fanatisme dalam sepak bola adalah mempertegas aturan. Pasalnya, fanatisme sepak bola tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan menjadi tren dunia sejak lama. Namun, beberapa negara maju telah berhasil meminimalisir konflik antarsuporter.
Ia menjelaskan, negara-negara maju membuat aturan yang tegas. Salah satunya, memastikan orang-orang yang masuk ke stadion adalah kelompok sosial tertentu. "Tiketnya dia mahalin. Kalau di sini, mohon maaf, yang masuk adalah pengangguran, remaja, yang dalam kondisi emosi yang sangat labil. itu berbahaya, apalagi jika bergabung dalam kerumunan massa," kata dia.
Selain itu, negara maju juga sangat tegas dengan sanksi denda bagi suporter maupun kesebelasan yang tak bisa mengatur suporternya. Karena itu, lanjut dia, manajemen suporter harus serius melakukan pembinaan dan pengawasan.
Menurut dia, aturan ini bisa dengan mudah dilakukan pemerintah maupun penyelenggara liga. Permasalahannya, kata dia, pemeritah tak pernah benar-benar serius mengatasi masalah sepak bola Indonesia.
Jika aturan tegas tak dilakukan, kata dia, korban meninggal ketika menyaksikan pertandingan sepak bola akan terus terulang. "Pertaruhannya adalah nyawa, klub harus juga bertanggung jawab. Jangan sedikit-sedikit, ketika ada yang meninggal menyalahkan oknum," tegas dia.
Ia mengatakan, kejadian ini harus menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa negara serius. Pasalnya, irang yang melakukan pembunuhan ini harus harus dihukum.
"Ini pembunuhan, mas," kata dia.
Jika aturan itu diterapkan dengan disertai lankah konkret lainnya, Devie optimis, kekerasan antarsuporter dapat diminimalisir. Namun, jika seluruh pihak tak berbenah, lanjut dia, masalah ini akan terus terulang. "Tinggal masalah waktu ketika menonton sepak bola menjadi korban atau menjadi pelaku brutalisme itu," kata dia.