Rabu 03 Oct 2018 00:45 WIB

Atasi Polemik Beras, Core Usulkan Empat Hal Ini

Pemerintah perlu membuat formula penetapan HPP yang mendorong minat produksi.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Friska Yolanda
Seorang petani membersihkan rumput liar diantara padi di areal persawahan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (17/9).
Foto: ANTARAFOTO
Seorang petani membersihkan rumput liar diantara padi di areal persawahan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan tata niaga beras di Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk segera dibenahi secara tuntas. Sedikitnya ada empat hal yang perlu dilakukan guna memecahkan permasalahn yang hampir rutin terjadi tiap tahun itu.

Direktur Center of Reform on Economy (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pengadaan beras impor harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan dilakukan secara transparan dengan pijakan yang kuat. Pada dasarnya, impor pangan merupakan solusi jangka pendek.

“Jika memang terdapat kesenjangan antara suplai domestik dengan kebutuhan dalam negeri, mengingat beras masih menjadi kebutuhan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (2/10).

Meski demikian, proses impor selama ini dipandang negatif lantaran sejumlah alasan seperti adanya praktik perburuan rente dalam penetapan kebijakan tersebut. Di samping itu, kegiatan impor cenderung membuat harga domestik jatuh pada titik yang merugikan petani.

Kegiatan impor juga menguras cadangan devisa dan dalam jangka panjang akan menghambat upaya mewujudkan kemandirian pangan. Oleh sebab itu, kegiatan impor harus dilakukan lebih transparan dengan melibatkan seluruh stakeholder, baik pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), asosiasi petani dan pedagang. Selain itu, prosesnya harus didukung oleh data yang valid dan estimasi yang akurat mengenai supply dan demand beras domestik. Pelaksanaan impor juga harus direncanakan secara matang sehingga tidak mengganggu keseimbangan harga gabah di tingkat petani.

Menurutnya, pemerintah perlu membuat formula penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang mendorong minat petani dalam berproduksi. Untuk diketahui, persoalan utama rendahnya penyerapan gabah/beras oleh Bulog disebabkan harga pembelian gabah/beras BUMN yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar. 

Sebagai contoh, tahun ini Bulog masih menggunakan HPP tahun 2015 yakni Rp 7.300 per kilogram (kg) beras dan Rp 4.650 per kg gabah kering giling (GKG). Padahal, harga rata-rata beras medium di tingkat penggilingan pada September sudah mencapai Rp 9.310 per kg dan Rp 5.501 per kg untuk GKG di tingkat penggilingan.

“Oleh sebab itu, HPP perlu ditetapkan secara reguler setiap tahunnya,” tegasnya.

Menurutnya, komponennya tidak hanya memperhitungkan biaya pokok produksi, perkembangan inflasi, tapi juga ditambah dengan margin yang menguntungkan petani. HPP tersebut selain menjadi acuan Bulog dalam pengadaan stok juga dapat menjadi harga batas bawah bagi pemerintah melakukan intervensi dengan menyerap seluruh produksi gabah yang ditawarkan petani.

Daikui Faisal, kebijakan seperti ini telah diterapkan di Cina. Meski negara tidak lagi mengontrol penuh sektor pertanian, pemerintah Cina tetap melakukan intervensi untuk melindungi petani mereka. 

Regulasi perberasan perlu dilakukan pembenahan guna mencegah praktik oligopoli, penimbunan dan spekulasi. Lebih dari 90 persen distribusi beras saat ini dikendalikan pelaku swasta, sementara sisanya sekitar 5-9 persen (1,5 juta-3,6 juta ton) dipegang oleh pemerintah melalui Bulog. Dengan angka tersebut, kemampuan pemerintah untuk menentukan harga pasar beras relatif terbatas.

Tetapi, pemerintah dapat menempuh beberapa kebijakan untuk mencegah praktik yang dapat mengganggu keseimbangan pasar, baik praktik oligopoli, penimbunan dan spekulasi. Di antaranya dengan pemberian sanksi berat seperti denda dalam jumlah besar bagi pelaku penimbunan, mewajibkan registrasi bagi para pedagang beras serta melakukan pengawasan reguler terhadap gudang-gudang dan perkembangan stok mereka.

Selain itu, peningkatan produksi beras nasional harus terus dilakukan dengan meningkatkan insentif bagi petani. Menurutnya, polemik impor beras tidak perlu terjadi jika pasokan domestik cukup memadai. Sementara, surplus beras yang diklaim Kementerian Pertanian saat ini masih sangat marginal dan sangat rawan diperdebatkan. Oleh karena itu, selain memperbaiki tata niaga beras, perlu terobosan agar produksi beras nasional jauh melampaui kebutuhan nasional. 

“Dengan demikian, selain meningkatkan cadangan nasional, sektor pertanian dapat memberikan sumbangan yang lebih besar pada pendapatan devisa nasional,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement