REPUBLIKA.CO.ID, Empat tahun sudah KPK menyelidiki kasus dugaan korupsi terkait Bantuan Likuditas Bank Indonesia. Satu terdakwa, yakni mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung telah divonis 13 tahun penjara.
Proses persidangan yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara terhadap Syafruddin kini menjadi amunisi KPK untuk menggali pihak-pihak lain yang ikut merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun. Alasannya, dalam pertimbangan putusan, disebut terbukti melakukan korupsi bersama dengan pihak lain yaitu Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
Pemilik bank dagang nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim pun dipanggil. Sambil menunggu kedatangan Sjamsul dan Itjih yang kini diketahui berada di Singapura, KPK juga mengirim tim penyidik ke Negeri Singa tersebut.
"Sampai pagi ini, belum ada konfirmasi kedatangan atau tidak datang dari pihak Sjamsul Nursalim," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di gedung KPK, Jakarta, Senin (8/10).
"Sekali lagi, kami ingatkan agar yang bersangkutan datang dan kooperatif. Pada waktu pemeriksaan, yang bersangkutan juga bisa memberikan klarifikasi jika memang ada materi yang jadi keberatan," ucap Febri, manambahkan.
Febri mengakui, setelah putusan Syafruddin Arsyad Temenggung, KPK menelusuri indikasi keterlibatan pihak lain. Sebelumnya, dalam proses penyidikan untuk tersangka Syafruddin pemanggilan terhadap Sjamsul sebagai saksi juga sudah dilakukan beberapa kali. Namun, Sjamsul tidak hadir saat itu.
Baca juga:
- Divonis 13 Tahun Penjara, Mantan Ketua BPPN Ajukan Banding
- Itjih Nursalim Disebut Menangis karena Persoalan BLBI
- Boediono Sebut Terdakwa BLBI Usul Pengurangan Kewajiban BDNI
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (24/9).
Obligor tak kooperatif
Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada 5 Juli, untuk terdakwa Syafruddun, mantan menteri negara oordinator bidang ekonomi, keuangan dan industri (Menko Ekuin) Kwik Kian Gie menegaskan Sjamsul Nursalim adalah obligor yang tidak kooperatif.
"Sjamsul Nursalim tidak kooperatif, personal guarantee juga tidak diberikan oleh Sjamsul Nursalim," kata Kwik yang juga sebagai mantan ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Kwik menerangkan, kategori kooperatif, yakni bila obligor dipanggil maka dia datang dan bila diajak bicara dia bersedia. Namun, ia menambahkan, kategori kooperatif lainnya, yakni ada atau tidaknya uang negara yang masuk ke kas negara.
“Untuk saya obligor kooperatif belum tentu menyelesaikan masalah karena pengusaha atau obligor bisa bersikap kooperatif tapi secara de facto tidak membayar. Untuk saya ukuran kooperatif ada atau tidak uang negara yang masuk ke kas negara," jelas Kwik.
Personal guarantee adalah kewajiban perorangan untuk menjamin memenuhi perutangan saat debitur wanprestasi. BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat sehingga harus ditutup saat krisis moneter pada 1998.
Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun.
Dalam aset tersebut, termasuk piutang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim. Belakangan, diketahui bahwa piutang Rp 4,8 triliun itu macet.
Karena itu, Sjamsul Nursalim sebagai pemilik perusahaan penjamin, yaitu DCD dan WM, harus menyerahkan personal guarantee kepada BPPN. Akan tetapi, hal itu tidak pernah diberikan Sjamsul.
"Pemilik dari sebuah PT secara pribadi seharusnya bertanggung jawab atas seluruh kekayaan pribadinya. Karena banyak penyelewenangan di PT ini maka lazimnya pemerintah meminta personal guarantee, jadi kami minta personal guarantee," ungkap Kwik.
Menurut Kwik, utang petambak penuh dengan konflik kepentingan. Sebab pada kenyataannya, para petambak udang tidak mereka menerima kredit BDNI dan cara pembayarannya ditentukan BDNI.
"Nilai tambak utang itu adalah 0 karena sudah kering dan beracun,” kata Kwik.
Pleidoi Syafruddin
Dalam nota pembelaannya (pleidoi) di persidangan, Syafruddin Arsyad Temenggung membantah memperkaya Sjamsul Nursalim dan dirinya sendiri sebesar Rp 4,58 triliun. Judul pleidoi Syafruddin adalah "Perjalanan Menembus Ruang Waktu, Ketidakadilan dan Ketidakpastian Mengadili Perjanjian Perdata MSAA () BDNI sepanjang 110 halaman yang dibacakan sendiri selama 3,5 jam pada 13 September lalu.
Syafruddin menilai, dakwaan ia memperkaya Sjamsul Nursalim tidak masuk akal. Sebab, Syafruddin sudah mengungkapkan bahwa dia tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berhubungan dengan Sjamsul Nurslaim, baik pada waktu menjabat ketua BPPN pada 26 April 2002 - 30 April 2004 ataupun setelah tidak menjabat lagi sebagai ketua BPPN.
"Bagaimana bisa kami didakwa memperkaya orang lain (Sjamsul Nursalim) yang kami sama sekali tidak kenal dan tidak pernah berhubungan," kata Syafruddin.
Syafruddin menegaskan fakta di persidangan dirinya tidak pernah membahas, menguraikan dan menyimpulkan adanya kick back berupa aliran uang atau pemberian harta benda kepada dirinya dan keluarganya dari siapapun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. "Kami tidak pernah menerima uang atau harta benda terkait dengan pemberian SKL kepada pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim,” kata dia.
Dalam persidangan, ia mengatakan, tidak ada keterangan saksi fakta dan alat bukti surat yang menunjukkan atau menerangkan bahwa dirinya dan/atau keluarganya dan/atau perusahannya menerima suap, gratifikasi atau kick back dari Sjamsul Nursalim dan atau orang perorangan atau perusahaan terkait dengan Sjamsul Nrusalim. “Persoalan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bahkan tidak pernah dibahas, ditanyakan atau disampaikan oleh semua saksi di persidangan ini,” kata Syafruddin.
[video] Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Desak KPK Tuntaskan Kasus BLBI