REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai ibukota sejak Indonesia merdeka, Jakarta menjadi sorotan atas dinamika pembangunan di kotanya. Saat era Soekarno hingga Soeharto, pemerintah sempat berencana memindahkan ibukota ke daerah lain karena pesatnya pertumbuhan di Jakarta.
Wacana pemindahan ibukota tersebut, tidak lepas dari anggapan beberapa pengamat bawa Jakarta dibangun dengan asas berkelanjutan. Lantas setelah puluhan tahun menjadi ibukota, apakah orientasi pembangunan kota besar seperti Jakarta sudah berkelanjutan
Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus mengatakan, pembangunan pemerintah provinsi DKI Jakarta masih terpisah-pisah. "Pembangunan di Jakarta ini masih bersifat reaktif dan parsial," kata dia kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Ia menyarankan, agar pemerintah provinsi DKI Jakarta mengidentifikasi rencana induk pembangunan. Salah satunya, rencana pembangunan terintegrasi trotoar dengan pembangunan fasilitas lain.
Rencana induk trotoar tersebut, kata dia, dapat digunakan oleh gubernur DKI Jakarta yang lain untuk membangun sarana dan prasarana. "Di (halte) BI (Bank Indonesia) juga trotoarnya masih terbilang kecil," ujarnya.
DI sisi lain, Arsitek, Pemerhati Kota dan Anggota Tim Pemugaran DKI Jakarta, Aditya W Fitrianto menyatakan, poin penting pembangunan kota yang berkelanjutan adalah menggunakan konsep 'Green' yang berarti ramah lingkungan dan berkelanjutan. "Ada pedestrian, taman, dan transportasi publik yang nyaman," kata dia kepada wartawan, Selasa (9/10) lalu.
Aditya mengatakan, orientasi pembangunan oleh Pemprov DKI Jakarta sudah mulai mengarah ke pembangunan berkelanjutan dengan memperbaiki kualitas dan kuantitas transportasi publik serta pejalan kaki. Menurutnya, permulaan fokus pembangunan transportasi publik yang baik adalah saat munculnya Transjakarta pada 2004 lalu.
Namun, ia tidak menampik jika beberapa pembangunan prasarana seperti trotoar masih bersifat reaktif. Sifat tersebut menurutnya, tidak lepas dari bagian proses pembangunan.
"Kita ambil contoh Asian Games, buru-buru bikin trotoar baru, tapi di bagian trotoar yang belum selesai, ditutupi dengan rumput hingga menutupi area halte lama,” ucapnya.
Ia tidak menampik bahwa sebagian kawasan perkantoran seperti Sudirman-Thamrin Gatot Subroto sudah diperbaiki. Kawasan luar pusat bisnis seperti jalan Rawasari, jalan Pramuka, dan jalan Pemuda juga dinilainya lebih baik dari sebelumnya.
Aditya membandingkan kondisi Jakarta saat ini dengan 100 tahun lalu. Kata dia, tahun 1900-an di adalah awal mula pembangunan kota Jakarta yang berorientasi kepada pejalan kaki. "Di salah satu ruko di jalan Pintu Besar sudah ada (trotoar), bahkan ada selasar nggak hanya pedestrian aja, seperti arcade," tuturnya.
Selain jalan Pintu Besar, pada 1900-an trotoar juga terdapat di jalan Juanda, Medan Merdeka, dan Pasar Senen. Namun, pembangunan trotoar mengalami penurunan di tahun 1980-an hingga 2000-an. Menurutnya, pembangunan Jakarta 20 tahun lalu justru berorientasi kepada bisnis dengan membangun beberapa titik pusat bisnis.
Ia menyampaikan, konsep pembangunan zaman dulu harus diperhartikan sebagai bagian dari sejarah. Kendati demikian, pembangunan di masa lalu perlu diseleksi antara konsep yang dapat dipertahankan atau justru dikembangkan.
"Tapi orientasi pembangunan kita saat ini mulai benar. Dulu orientasi kita bikin 'Central Business District' seperti Kuningan. Tapi pembangunan kawasan khusus itu, sekarang bisa jadi contoh yang baik,” ucap dia.
Di satu sisi, Data Dinas Bina Marga DKI Jakarta tahun 2017 menyebutkan, provinsi DKI Jakarta memiliki total jalan sepanjang 7.000 kilometer. Dengan panjang tersebut, saat itu jalan yang dibangun dengan trotoar di sisinya masih 400 kilometer.