REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPRD DKI Jakarta menilai tidak ada keberpihakan kepada warga miskin dalam program rumah dengan uang muka Rp 0 (Rumah DP Nol) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebaliknya, program ini lebih menyasar warga kelas menengah.
"Sekarang ini tidak ada perumahan untuk warga miskin. Program DP 0 Rupiah hanya melayani warga kelas menengah," kata Ketua Fraksi PDIP Gembong Warsono di Ruang Fraksi PDIP Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/10).
Menurut Gembong, Program Rumah DP 0 Rupiah jelas bukan untuk warga miskin. Program ini diperuntukkan bagi warga DKI berpenghasilan Rp 4 juta hingga Rp 7 juta per bulan. Biaya cicilan minimum Rp 2 juta per bulan.
"Tentunya ini di luar listrik dan air bersih. Plus, iuran pengelolaan lingkungan karena status rusunami tidak memungkinkan diberikan subsidi," kata Gembong.
Gembong menilai terjadi blunder dalam program pembangunan rumah untuk rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan pembatalan pembangunan tiga rumah susun, yakni Rusun Jalan Inspeksi BKT di Kelurahan Ujung Menteng senilai Rp 361 miliar, Rusun PIK Pulogadung sebesar Rp 188 miliar, dan revitalisasi pembangunan Rusun Karang Anyar di Jakarta Pusat senilai Rp 162 miliar.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau pembangunan Rumah DP 0 Rupiah saat diluncurkan di Pondok Kelapa, Jakarta, Jumat (12/10).
Ia menjelaskan, anggaran untuk ketiga rumah susun tersebut, yang total lebih dari Rp 710 miliar, dialihkan untuk menalangi 20 persen uang muka Rumah DP Nol. Sisanya, dianggarkan untuk pembiayaan kredit rumah murah dan pembebasan lahan, yang menurut Fraksi PDIP belum terproyeksi dengan jelas pelaksanaannya.
Di sisi lain, masih kata Gembong, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Pemerintah Daerah Pasal 5 Ayat 1 menyebutkan, pemerintah daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. Dalam ayat 2 diterangkan bahwa pendapatan daerah (dalam APBD) atau aset milik daerah tidak bisa dijadikan jaminan pinjaman.
"Artinya, ini sangat rawan menjadi temuan BPK karena berpotensi menimbulkan kerugian negara," ujar Gembong.
Tak sampai di situ, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 sebagai perubahan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah melarang Kepala Daerah menganggarkan program melampaui masa jabatan. Pemberian talangan oleh Pemprov rencananya dicicil selama 20 tahun.